Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Business

Tuesday, 16 February 2016

Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini

  kangato       Tuesday, 16 February 2016

Pengembangan Nilai-nilai Agama 
Anak Usia Dini 

Menurut Zakiah Darajat (Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbagai situasi.

Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut. 
  1. Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage) Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.  
  2. Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage) Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh. 
  3. Tingkat Individu (The Individual Stage) Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistik ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan konsep keagamaan yang humanistik. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. 
Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterima. 
Keberminatan anak terhadap agama sudah mulai muncul sejak usia dini. Akan tetapi, minat terhadap agama ini tidak dapat selalu ditafsirkan bahwa anak mulai menunjukkan sikap rajin beribadah sesuai dengan ritual keagamaan keluarganya. Rasa ingin tahu anak terhadap agama biasanya muncul melalui banyak pertanyaan yang berkaitan dengan agama, seperti “Apakah Tuhan memiliki mata sehingga Dia bisa melihat semua perbuatan yang kita lakukan?” atau “Dimanakah Tuhan bertempat tinggal? Atau pertanyaan lain yang mengusik seperti “Apakah Tuhan itu ada?” 
Konsep anak tentang agama sangat realistik karena anak menterjemahkan apa yang didengar dan dilihat sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya. Bagi anak, Tuhan dapat berwujud, seperti seseorang yang berambut putih, berjanggut putih dan panjang serta berpakaian serba putih. Contoh lainnya, anak mungkin  mendeskripsikan sesosok malaikat sebagai makhluk yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan baik hati 
Berdasarkan tahapan dan karakteristik keagamaan yang dimiliki, maka pengembangan nilai agama sudah seharusnya disetarakan dengan perkembangan tersebut. Ulwan menguraikan lima metode yang dapat dikembangkan untuk mempersiapkan anak agar anak mencapai kematangan dalam nilai agama (spiritualitas) dan moral, yaitu sebagai berikut: 
a.      Pendidikan dengan keteladanan 
Guru (Pendidik) dan orangtua merupakan model bagi anak, yang patut ditiru dan digugu. Pendidikan dengan memberikan contoh teladan kepada anak merupakan salah satu metode penanaman nilai agama yang paling efektif. Dengan demikian, pendidik seharusnya menunjukkan perilaku yang jujur, dapat dipercaya serta menjauhkan diri dari perbuatan yang ditentang oleh agama. 
b.      Pendidikan dengan pembiasaan 
Pembiasaan merupakan perwujudan praktek nilai-nilai keagamaan melalui kegiatan rutin sehari-hari, seperti mengucapkan salam kepada ibu guru ketika sampai di sekolah dan melafalkan doa sebelum dan sesudah makan. 
c.      Pendidikan dengan nasehat 
Pendidik perlu memberikan bimbingan dan arahan tentang nilai-nilai agama melalui pemberian nasihat. Nasihat yang diberikan agar tidak terkesan menggurui dapat disampaikan dengan menggunakan teknik bercerita. Dengan menyimak cerita yang disampaikan, anak akan memetik nasihat dengan perasaan senang karena tidak ada paksaan. 
d.      Pendidikan dengan memberi perhatian
Pendidik hendaknya senantiasa memperhatikan dan mengawasi anak dengan mengajak anak mengerjakan kebaikan. Pendidik dapat juga membuka cakrawala berpikir anak tentang makhluk ciptaan Tuhan secara universal, benda hidup dan benda mati, air sungai yang mengalir, bunga-bunga yang bermekaran dan jutaan ciptaan Tuhan lainnya. 
e.      Pendidikan dengan memberi hukuman Hukuman merupakan pilihan pengembangan anak yang terakhir. Namun, alangkah baiknya jika penggunaan hukuman tidak dilakukan. Hukuman berkaitan dengan suatu bentuk kerugian yang diterima oleh anak apabila melakukan kesalahan. Hukuman sangat tidak dianjurkan karena anak akan merasa rendah diri, kurang percaya diri dan kehilangan semangat. Merupakan langkah yang arif jika kita lebih memilih menggunakan metode lainnya yang berdampak positif daripada menekankan pada tingkah laku yang salah dan mengancamnya dengan hukuman.
logoblog

Thanks for reading Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment

Contoh Soal PLH Kelas VIII

SOAL PLH KELAS VIII PENGHIJAUAN LINGKUNGAN Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar, dengan memberikan tanda silang (X) pad...

close