Pengembangan Nilai-nilai Agama
Anak Usia Dini
Menurut
Zakiah Darajat (Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang
diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam
tindakan, perkataan, dan sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya
perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi
kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan
apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan
bertingkah laku dalam berbagai situasi.
- Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage) Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.
- Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage) Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh.
- Tingkat Individu (The Individual Stage) Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistik ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan konsep keagamaan yang humanistik. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Pengembangan
nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan
anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas,
maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan
melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan
demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang
terdapat dalam cerita yang diterima.
Keberminatan
anak terhadap agama sudah mulai muncul sejak usia dini. Akan tetapi, minat
terhadap agama ini tidak dapat selalu ditafsirkan bahwa anak mulai menunjukkan
sikap rajin beribadah sesuai dengan ritual keagamaan keluarganya. Rasa ingin
tahu anak terhadap agama biasanya muncul melalui banyak pertanyaan yang
berkaitan dengan agama, seperti “Apakah Tuhan memiliki mata sehingga Dia bisa
melihat semua perbuatan yang kita lakukan?” atau “Dimanakah Tuhan bertempat
tinggal? Atau pertanyaan lain yang mengusik seperti “Apakah Tuhan itu ada?”
Konsep
anak tentang agama sangat realistik karena anak menterjemahkan apa yang
didengar dan dilihat sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya. Bagi anak,
Tuhan dapat berwujud, seperti seseorang yang berambut putih, berjanggut putih
dan panjang serta berpakaian serba putih. Contoh lainnya, anak mungkin mendeskripsikan sesosok malaikat sebagai
makhluk yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan baik hati
Berdasarkan
tahapan dan karakteristik keagamaan yang dimiliki, maka pengembangan nilai
agama sudah seharusnya disetarakan dengan perkembangan tersebut. Ulwan
menguraikan lima metode yang dapat dikembangkan untuk mempersiapkan anak agar
anak mencapai kematangan dalam nilai agama (spiritualitas) dan moral, yaitu
sebagai berikut:
a. Pendidikan
dengan keteladanan
Guru (Pendidik) dan orangtua
merupakan model bagi anak, yang patut ditiru dan digugu. Pendidikan dengan
memberikan contoh teladan kepada anak merupakan salah satu metode penanaman
nilai agama yang paling efektif. Dengan demikian, pendidik seharusnya
menunjukkan perilaku yang jujur, dapat dipercaya serta menjauhkan diri dari
perbuatan yang ditentang oleh agama.
b. Pendidikan
dengan pembiasaan
Pembiasaan
merupakan perwujudan praktek nilai-nilai keagamaan melalui kegiatan rutin
sehari-hari, seperti mengucapkan salam kepada ibu guru ketika sampai di sekolah
dan melafalkan doa sebelum dan sesudah makan.
c. Pendidikan
dengan nasehat
Pendidik
perlu memberikan bimbingan dan arahan tentang nilai-nilai agama melalui
pemberian nasihat. Nasihat yang diberikan agar tidak terkesan menggurui dapat
disampaikan dengan menggunakan teknik bercerita. Dengan menyimak cerita yang
disampaikan, anak akan memetik nasihat dengan perasaan senang karena tidak ada
paksaan.
d. Pendidikan
dengan memberi perhatian
Pendidik hendaknya senantiasa memperhatikan dan mengawasi anak dengan
mengajak anak mengerjakan kebaikan. Pendidik dapat juga membuka cakrawala
berpikir anak tentang makhluk ciptaan Tuhan secara universal, benda hidup dan
benda mati, air sungai yang mengalir, bunga-bunga yang bermekaran dan jutaan
ciptaan Tuhan lainnya.
e. Pendidikan
dengan memberi hukuman
Hukuman merupakan
pilihan pengembangan anak yang terakhir. Namun, alangkah baiknya jika
penggunaan hukuman tidak dilakukan. Hukuman berkaitan dengan suatu bentuk
kerugian yang diterima oleh anak apabila melakukan kesalahan. Hukuman sangat
tidak dianjurkan karena anak akan merasa rendah diri, kurang percaya diri dan
kehilangan semangat. Merupakan langkah yang arif jika kita lebih memilih
menggunakan metode lainnya yang berdampak positif daripada menekankan pada
tingkah laku yang salah dan mengancamnya dengan hukuman.
No comments:
Post a Comment