Membangun Citra Diri Positif Anak
Banyak perilaku guru
yang dapat membunuh karakter anak,
yaitu dengan membuat
anak
merasa rendah diri.
Seorang guru yang
tidak pernah
memberi
pujian atau kata-
kata
positif, kecuali cemoohan dan kata-kata negatif akan memuat
muridnya menjadi tidak percaya diri. Rasa tidak
percaya diri yang telah terbentuk
sejak anak usia dini akan terbawa sampai dewasa.
Peran guru dalam membangun citra diri yang positif pada anak sangat besar,
sehingga sebuah sekolah dasar di Medford Massachusetts yang
bernama Dame School,
membuat kebijakan untuk membangun citra diri positif
kepada murid-muridnya.
Kisah Dame School, menyatakan bahwa
seluruh murid
sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 3, tidak boleh diberikan nilai
angka atau huruf di
rapornya, tetapi
hanya
berupa uraian consisten dan not
consisten, berbeda dengan di Indonesia rapor
anak diisi dengan angka, bahkan
diberi peringkat atau ranking. Menurut mereka, kalau seorang anak
usia
di bawah 9 tahun diberikan nilai (baik dan buruk), maka
akan “memvonis” anak; pintar, sedang dan bodoh. Padahal
anak-anak pada usia itu masih terus
berkembang kemampuannya. Baru nanti ketika anak sudah kelas empat
SD, ilai
mulai diberikan, tetapi
ranking tetap tidak diberikan.
Hasil Kerja harian murid-murid cukup diberikan “nilai” dengan gambar stiker (bintang, bunga atau mobil
) atau
dengan tulisan
gurunya
yang berbunyi
:
good dan
good effort. Ternyata dengan cara ini,
anak-anak bersemangat untuk mengerjakan tugasnya dengan baik, karena setelah selesai guru akan menempelkan stiker di lembaran bukunya.
Dalam memeriksa hasil
kerja, guru tidak mencoretr
hasil
kerja anak yang salah, tetapi
dengan membetulkannya dengan cara menuliskan jawaban yang
benar di samping hasil kerja anak
yang salah.
Murid-murid didorong untuk aktif berdiskusi, dan guru selalu
memberi komentar positif
kepada
setiap pendapat yang dilontarkan kepada anak. Dengan carta ini murid-murid menjadi bersemangat
un
tuk tetap masuk sekolah. Bahkan anak bertekad untuk tetap masuk sekolah walaupun suhu badannya panas tinggi.
Di Dame school, waktu libur
panjang adalah waktu yang membosankan, tetapi waktu sekolah adalah waktu yang
menyenangkan. Anak-anak begitu mencintasi
sekolahnya, karena gurunya telah
berhasil menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan
yang
membuat anak-anak antusias
untuk belajar.
Kalau
anak
senang
hatinya,
maka
bagian
limbik otaknya akan terbuka, sehingga anak dengan mudah menyerap pelajaran yang diberikan.
Keadaan belajar di Dame School terasa
berbeda dengan keadaan belajar di Indonesia. Guru di Indonesia cenderung
jarang memberikan pujian kepada anak, tetapi lebih banyak
mengkritik dan memarahi
anak. Hal ini menjadi
salah satu
faktor yang sering menjadi penyebab
seorang anak
tidak percaya diri adalah ketika di kelas ia tidak
dapat menjawab pertanyaan atau ketika maju ke
depan papan tulis untuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Banyak guru yang bersikap negatif ketika mendapatkan muridnya tidak dapat menjawab
pertanyaan,
misalnya dengan
perkataan
:
“itu salah, kamu pasti
tidak belajar ya?“ atau “lihat anak-anak, betul tidak jawaban Rika?”. Seharusnya reaksi
guru adalah “jawabannya belum lengkap, mungkin ada jawaban yang
lain?” atau “jalannya sudah hampir benar, tetapi coba kamu ulangi lagi, mungkin ada jawaban yang
kamu lupakan” atau
“Ana,
nanti kamu duduk
sama Shella
dan kamu berdua dapat memecahkan soal
itu ?”
Sering guru mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya. Kita semua
pasti pernah melihat atau
mempunyai pengalaman tentang
sikap guru yang seperti itu. Sekali anak
dipermalukan, ia kan takut, gemetaran ketika harus menjawa pertanyaan
guru, sehingga
ia menjadi tidak
percaya diri untuk mengungkapkan
pendapatnya di depan kelas. Sejak anak
kecil juga sudah divonis dengan diberikan ranking atau dengan istilah “mendapat ranking
sepuluh besar” atau “tidak masuk
ranking.”
Sikap guru yang
demikian, memang bukan hanya kesalahan guru saja, tetapi adalah kesalahan sebuah sistem
pendidikan yang orientasinya hanya semata-mata mengejar
keberhasilan akademik, yaitu sistem mengejar
target kurikulum dengan segenap tes harian, ulangan umum, ujian akhir. Padahal untuk anak usia dini, yang terpenting ditanamkan adalah
sikap
agar anak-anak cinta
belajar.
Bukan semata-mata harus bisa karena kalau “harus” bisa,
suasana belajar menjadi penuh beban, sehingga otak limbik
anak tertutup, akhirnya anak tidak
dapat mencapai
potensi optimalnya. Di dalam
ilustrasi
ini,
dikandung bahwa
seorang guru perlu menampilkan
etika membangun citra positif anak
melalui perilaku-perilaku : santun, tulus, mencintai anak, memberikan pujian dan
menciptakan kesenangan anak
dengan melabel atau memberi cap negatif anak.
Guru sebagai Model/Tokoh
Idola Anak
perilaku adalah hasil dari proses sosialisasi
dan
pendidikan yang
diberikan dari
lingkungannya, terutama dari
orang
tua
atau pendidik. Seseorang
telah menceritakan
tentang
pengalamannya dengan seorang guru,
yang bernama Muhayaidden, bahwa ia telah
meminta nasehat
bagaimana mendidik anaknya agar menjadi
anak
yang baik dan beraklak
mulia. Sang guru tidak
memberikan jawaban yang panjang dan berteori, tetapi hanya dengan “perbaiki saja diri
kamu
dulu, nanti dengan
sendirinya
anak kamu
akan menjadi baik
“.Thomas Lickona mengatakan bahwa
“values are caught“, nilai-nilai yang ditangkap anak adalah melalui contoh dari guru dan orang
tuanya. Nilai-nilai adalah yang diterangkan langsung oleh gurunya.
Menjadi pendidik PAUD tidak cukup
hanya berbekal
kurikulum atau Acuan Pembelajaran Menu
Generik, tetapi
juga menyangkut bagaimana guru sebagai
pendidik menjadi
idola bagi muridnya. Bagaiman ciri-ciri guru yang menjadi idola murid-muridnya, antara lain sebagai
berikut:
(a) anak bersemangat kesekolah, anak-anak
tidak sabar bersekolah dan hari-hari libur menjadi
hari
yang membosankan
(b) anak akan
mengatakan sayang
atau suka
kepada gurunya kalau ditanyakan
apakah mereka menyayangi gurunya,
(c) anak selalu merindukan gurunya dan
(d) anak akan mengerjakan tugas yang
diberikan, karena
tidak ingin mengecewakan gurunya.
Pengalaman seorang guru bernama Bill
Rose, seperti
diungkapkan diatas adalah salah satu bukti bagaimana
seorang guru yang berusaha menumbuhkan rasa percaya diri murid-muridnya dengan
penuh perhatian dan kasih
sayang (etika kepribadian) sehingga membuat
murid-
muridnya mau bekerja keras untuk menyenangi gurunya.
Inti dari
pesan dalam sub bab ini adalah bagaimana ampuhnya sosok
panutan orangtua atau guru dalam mempengaruhi perilaku anak. Apabila kita ingin menjadikan diri sebagai tokoh panutan, maka diri kita sendiri harus diperbaiki dulu
No comments:
Post a Comment