PENGERTIAN HUKUM WARIS
-
Pengertian Hukum Waris dan Unsur-Unsurnya
Hukum
waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
Pengertian lain hukum waris adalah ketentuan yang mengatur soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Dalam
hukum waris berlaku suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika
itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Menurut Pasal 834 BW, bahwa seorang ahli waris berhak untuk menuntut supaya
segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya
bersadarkan haknya sebagai ahli waris. Sementara dalam Pasal 174 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, yang berhak mendapat
warisan apabila semua ahli waris ada terdiri dari: anak, ayah, ibu, janda/duda.
Dari
definisi di atas, diketahui bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pewarisan,
antara lain:
1)
Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia, dan meninggalkan harta kekayaan
kepada orang lain.
2)
Ahli waris, yaitu orang yang berhak atas harta warisan.
3)
Harta warisan, yaitu kekayaan yang ditinggalkan berupa aktiva dan passiva
(boedel).
4)
Pewarisan, yaitu proses beralihnya harta kekayaan (hak dan kewajiban)
seseorang kepada ahli warisnya.
Menurut A. Khisni,
ada 3 (tiga) syarat untuk mendapatkan warisan, yaitu:
a)
Pewaris benar-benar meninggal dunia;
b)
Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal dunia;
c)
Benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris.
Menurut
undang-undang, ada 2 (dua) cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1.
Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (Ab intestato);
2.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat/testament (testamentair)
Sejak
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang, baik secara tegas
maupun diam-diam, disadari ataupun tidak, telah mewarisi sisa-sisa tertib hukum
kolonial dimana berdasarkan Pasal II Undang-undang Dasar 1945 bagian Aturan
Peralihan, maka segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Seperti contoh, penggolongan
penduduk berdasarkan Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) dan Pasal 163
Indische Staatsregeling (IS) secara normatif eksplisit mengatur tentang adanya
pembagian golongan penduduk di Hindia Belanda ke dalam tiga golongan,
yaitugolongan bumiputera/pribumi, golongan timur asing (terdiri dari timur
asing keturunan tionghoa, dan timur asing bukan keturunan tionghoa seperti
Arab, India, dan lain-lain yang menundukan diri), serta golongan Eropa. Pembedaan pada golongan
tersebut membawa pula pembedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan
tersebut, yaitu:
1)
Bagi orang-orang Indonesia asli (Bumiputera) pada pokoknya berlaku hukum
adatnya yang berlaku di berbagai daerah yang disebabkan oleh berbagai faktor,
bagi warga negara Indonesia asli yang beragama islam terdapat pengaruh nyata
dari hukum islam.
2)
Bagi golongan timur asing.
a.
Timur asing keturunan Tionghoa, berdasarkan Stb.1917-129, berlaku hukum
waris BW (buku II titel 12 sampai dengan 18, pasal 830 sampai dengan 1130).
b.
Timur asing lainnya (India, Arab dan lain-lain) berlaku hukum waris adat
mereka masing-masing yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kecuali untuk
wasiat umum berdasar Stb.1924-556 tunduk pada BW.
3)
Bagi golongan eropa tunduk pada hukum waris BW.
Dengan kata lain,dalam pengaturan kewarisan sampai saat
ini masih terjadi pluralisme, yaitu terdapat 3 (tiga) sistem hukum waris yang
berlaku di Indonesia, yakni:
1)
sistem hukum barat;
2)
sistem hukum waris adat;
3)
sistem hukum waris Islam.
-
Proses Peralihan Hak atas Tanah Berdasarkan Pewarisan (Akta
Pembagian Hak Bersama)
peralihan
hak atas tanah merupakan peralihan hak atas tanah dari seseorang kepada orang
lain, dan hal itu dapat terjadi karena pewarisan. Dalam Pasal 830 KUHPerdata disebutkan
bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Dengan demikian, peralihan hak
merupakan perbuatan hukum yang terjadi secara otomatis karena adanya kematian.
Maka, hak pewaris langsung beralih kepada ahli warisnya. Sebagaimana disebutkan
dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, untuk keperluan peralihan hak atas tanah karena
pewarisan menyatakan bahwa: “peralihan
hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak yang
bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti bahwa sejak itu para ahli waris
menjadi pemegang haknya yang baru. Mengenai siapa yang menjadi ahli waris
diatur dalam hukum perdata yang berlaku bagi pewaris.”
Mengenai
pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah
di daftar dan hak milik atas satuan rumah susun, wajib diserahkan oleh yang
menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang
bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan dengan melampirkan bukti
sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian pewaris sebagai pemegang hak,
dan surat tanda bukti sebagai ahli waris, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
111 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan:
(1)
Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumahdiajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan melampirkan:
a.
Sertifikat hak atas tanah atau sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
atas nama pewaris atau, apabila mengenai tanah yang belum terdaftar bukti
pemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Peraturan pemerintah Nomor 24
Tahun 1997;
b.
Surat kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam sertifikat yang
bersangkutan dari kepala desa/lurah tempat tinggal pewaris waktu meninggal
dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi lain yang berwenang;
c.
Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa:
1)
Wasiat dari pewaris, atau
2)
Putusan pengadilan, atau
3)
Penetapan hakim/ketua pengadilan, atau
4)
- Bagi Warga negara Indonesia
penduduk asli: Surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh kepala
desa/kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;
-
Bagi Warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: Akta keterangan Hak Mewaris
dari Notaris;
-
Bagi Warga negara Indonesia keturunan timur asing lainnya: Surat keterangan
waris dari Balai Harta Peninggalan.
d.
Surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan
pendaftaran peralihan hak bukan ahli waris yang bersnagkutan;
e.
Bukti identitas ahli waris.
(2)
Apabila pada waktu permohonan pendaftaran peralihan sudah ada putusan
pengadilan atau penetapan hakim/ketua pengadilan atau akta mengenai pembagian
waris sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997, maka putusan/Penetapan atau akta tersebut juga dilampirkan pada
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksis atau dengan akta Notaris.
(4)
Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan belum ada pembagian
warisan, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris
sebagai pemilikan bersama, dan pembagian hak selanjutnya dapat dilakukan sesuai
ketentuan Pasal 51 Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997.
(5)
Apabila ahli waris lebih adar 1 (satu) orang dan pada waktu pendaftaran
peralihan haknya disertai dengan Akta Pembagian Waris yang memuat keterangan
bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh
kepada 1 (satu) orang penerima warisan, maka pemcatatan peralihan haknya
dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan Akta pembagian
waris tersebut.
(6)
Pencatatan pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud pasal ini dalam
daftar-daftar pendaftaran tanah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105.
Pendaftaran peralihan hak diwajibkan dalam
rangka memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris dan demi ketertiban tata
usaha pendaftaran tanah agar data yang tersimpan dan disajikan selalu
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan: “Peralihan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Mengenai Pembagian Hak Bersama, dalam Pasal 136 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah disebutkan:
(1)
Jika suatu hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang
semula dimiliki secara bersama oleh beberapa orang, dijadikan milik salah satu
pemegang hak bersama dalam rangka pembagian hak bersama, pemohonan
pendaftarannya diajukan oleh pemegang hak tunggal yang bersangkutan atau
kuasanya dengan melampirkan:
a. Sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan rumah
Susun yang bersangkutan;
b. Akta PPAT tentang pembagian Hak Bersama;
c. Bukti identitas para pemegang hak bersama;
d. Surat kuasa tertulis apabila permohonan pendaftaran tersebut
dilakukan bukan oleh pemegang hak yang berkepentingan;
e. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal
bea tersebut terhutang;
f. Bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terhutang.
(2)
Pendaftaran pembagian hak bersama dilakukan seperti pendaftaran Peralihan
hak sebagimana diatur dalam Pasal 105.
Pembuatan
Keterangan Hak Waris (KHW) oleh instansi yang berbeda-beda sebagaimana
ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 tersebut di atas,merupakan salah
satu konsekuensi akibat masih berlakunya pluralisme sistem hukum waris dan
terdapatnya perbedaan kebutuhan keperdataan masing-masing “golongan penduduk”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
Notaris/PPAT Oemi Irawati, S.H.,Sp.N pada hari jumat tanggal 12 Februari 2016,
menyatakan bahwa apabila ahli waris lebih dari satu orang, maka dalam proses
pendaftaran peralihan hak karena warisan harus menggunakan/disertakan dasar
Akta Pembagian Hak Bersama yang dibuat oleh PPAT yang berwenang untuk itu,
dimana dalam akta tersebut para ahli waris sepakat untuk menunjuk salah satu
ahli waris sebagai pemegang haknya. Hal ini dilakukan karena ketentuan prosedur
hukum mengenai pendaftaran peralihan hak atas tanah karena pewarisan, yaitu
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Adapun
dalam hal Pembagian hak Bersama, dalam Pasal 51 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 disebutkan: “ Pembagian hak bersama atas tanah atau hak
Milik atas satuan Rumah Susun menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama,
didaftar berdasarkan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut
peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara pemegang hak bersama
mengenai pembagian hak bersama tersebut.”
No comments:
Post a Comment