Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Business

Monday, 21 May 2018

Pengertian Perjanjian menurut para Ahli

  kangato       Monday, 21 May 2018
Pengertian Perjanjian  menurut para ahli
1.      Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
2.      Sedangkan menurut Salim H.S, perjanjian merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.
3.      Sementara menurut M. Yahya Harahap, perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.
Sedangkan menurut Pasal 1313 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPerdata ini kurang lengkap dan mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain:
a.       Rumusan ini hanya cocok untuk perjanjian sepihak, karenakata “mengikatkan” hanya datang dari salah satu pihak (tidak dari kedua belah pihak);
b.      Pengertian perjanjian terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan diri terbatas dalam lapangan hukum kekayaan, sehingga dapat pula mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum keluarga;
c.       Tanpa menyebut tujuan, sehingga para pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.
Jadi pengertian perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri perikatan atau perjanjian, adalah:
a.       Para pihak (subjek) selalu dua orang atau lebih;
b.      Debitur wajib melaksanakan prestasi;
c.       Prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan;
d.      Prestasi harus mungkin dan halal;
e.       Prestasi dapat berupa satu kali atau terus-menerus, seperti dalam perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan lain-lain;
f.       Kadang-kadang perikatan atau perjanjian tidak berdiri sendiri, artinya masih harus diikuti dengan tindakan lain seperti dalam perjanjian jual- beli, diikuti dengan levering (penyerahan) dan balik nama (mutasi);
g.      Untuk memenuhi kewajibannya debitur bertanggungjawab menurut Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata;
h.      Menimbulkan hak perorangan;
i.        Pada umumnya pemenuhan pretasi dapat dipaksakan (melalui pengadilan);
j.        Terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan.
Bahwa untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yakni perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan secara lisan.  Kedua bentuk perjanjian tersebut memiliki kekuatan yang sama kedudukannya yaitu untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja apabila perjanjian dibuat secara tertulis, maka dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila terjadi perselisihan. Sedangkan bila bentuk perjanjian secara lisan, maka apabila terjadi perselisihan akan sulit pembuktiannya, karena harus dapat menunjukan saksi-saksi, juga harus adanya itikad baik dari pihak-pihak.
Dasar hukum perjanjian diatur dalam Buku III  KUH Perdata yang terdiriatas 18 bab. Buku III tentang “perikatan” (Van Verbintenissen), memuat hukum harta kekayaan. Buku III ini bersifat terbuka (ditentukan oleh para pihak dengan syarat dasarnya yaitu asas kebebasan berkontrak) artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang.
Sistem terbuka dalam perjanjian, mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian (asas kebebasan berkontrak), dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu   kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan.
Menurut Johanes Gunawan, asas kebebasan berkontrak meliputi:
a.       Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian;
b.      Kebebasan setiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian;
c.       Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian;
d.      Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian;
e.       Kebebasan para pihak untuk menentukan cara membuat perjanjian.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Asas konsensualisme ini mempunyi hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas konsensualisme ini dapat kita temukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan syarat sahnya suatu perjanjian yang mengikat para pihak. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
a.       Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Sepakat yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu   harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
Cara mengutarakan kehendak ini bisa bermacam-macam. Dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam, dengan tertulis melalui akta otentik atau di bawah tangan atau dengan tanda.
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan dalam hal ini mengandung maksud kemampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang berwenang untuk membuat suatu perjanjian, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk melakukan hal itu.
Dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan bahwa yang tidak cakap untuk membuat perjanjian ada 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.      Anak yang belum dewasa;
2.      Orang yang berada di bawah pengampuan;
3.      Perempuan bersuami.
Sekarang ini, setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 dan setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, tinggal dua golongan yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu anak yang belum dewasa dan orang yang berada di bawah pengampuan (curatele).
c.       Mengenai suatu hal tertentu
Dalam hal  suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika terjadi suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikt harus ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan (Pasal 1333 KUHPerdata). Dan mengenai barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari pun dapat dijadikan objek suatu perjanjian (Pasal 1334 KUHPerdata).
d.      Mengenai sebab atau causa  yang halal
Pengertian “sebab yang halal” adalah bukan hal yang yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan syarat kedua di atas disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan untuk syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut perjanjian. Apabila dalam suatu perjanjian dibuat tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan artinya salah satu pihakmempunyai hak untuk mmeminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Sedangkan apabila syarat objektif tidak dipenuhi makaperjanjian itu batal dengan sendirinya demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu:
a.       Perjanjian menurut sumbernya:
1)      Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga. Misalnya, perkawinan.
2)      Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda.
3)      Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban.
4)      Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.
5)      Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.
b.      Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi:
1)      Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada dua macam, yaitu timbal balik yang sempurna dan tidak sempurna. Misalnya, perjanjian jual beli.
2)      Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak. Misalnya, hibah (Pasal 1666 KUHPerdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 KUHPerdata).
c.       Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain, dibedakan menjadi:
1)      Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntugan pada salah satu pihak. Misalnya, perjanjian hibah.
2)      Perjanjian atas beban, adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Misalnya, perjanjian jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain.
d.      Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian khusus/bernama/nominaat dan perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru (pasal 1319 KUHPerdata).
1)      Perjanjian khusus/bernama/nominaat, adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata. Misalnya, perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V-XVIII KUHPerdata, antara lain perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian untuk melakukan pekerjaan, perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian hibah, perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian untung-untungan, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian penanggungan, dn perjanjian perdamaian.
2)      Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru, adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata di undangkan. Perlu diingat bahwa KUHD dan KUHPerdata pada awal pembentukannya merupakan satu paket, maka perjanjian yang terdapat dalam KUHD misalnya perjanjian perwakilan khusus (makelar, agen, komisioner), perjanjian pengangkutan, ataupun perjanjian asuransi secara otomatis merupakan perjanjian nominaat karena dikenal saat KUHPerdata diundangkan. Dari definisi perjanjian innominaat diatas dapat dilihat unsur-unsur dari perjanjian innominaat, yaitu:
a)      Perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata;
b)      Perjanjian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat;
c)      Berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Contohnya, kontrak production, sharing, joint venture, kontrak karya, kontrak konstruksi, leasing, perjanjian sewa beli, franchise, surrogate mother, manajemen kontrak, technical assistance contract, dan lain sebagainya.
e.    Perjanjian menurut bentunya ada 2 (dua) macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis dan perjanjian tertulis. Yang termasuk perjanjian lisan adaalah:
1)      Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
2)      Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya, perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai.
Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu:
1)      Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha serta bersifat massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen.
2)      Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah itetapkan dengan formalitas tertentu. Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata), perjanjian hibah dengan akta notaris.
f.       Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Yang termasuk dalam perjanjian ini menurut Mariam Darus Badrulzaman:
1)      Perjanjian liberatoir, adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan hutang.
2)      Perjanjian pembuktian, adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlakudi antara mereka.
3)      Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi.
4)      Perjanjian publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.
g.      Perjanjian campuran/contractus sui generis (Pasal 1601 C KUHPerdata).
Di dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Misalnya, perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu.
h.      Perjanjian penanggungan, adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUHPerdata)
i.        Perjanjian garansi dan perjanjian Derden Beding.
1)      Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian (bukan pihak dalam perjanjian yang bersangkutan) akan melakukan sesuatu (tidak akan melakukan sesuatu) dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya maka ia akan bertanggung jawab untuk itu. Dengan kata lain, perjanjian garansi adalah perjanjian dimana seorang (A) berjanji kepada pihak (B) bahwa orang lain (C) akan melaksanakan/memenuhi prestasi.
2)      Derden Beding (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga.
j.        Perjanjian menurut sifatnya dibedakan menjadi:
1)      Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama, misalnya perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun kepada lembaga perbankan.
2)      Perjanjian accessoir, adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama/pokok, misalnya perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.
Sedangkan penggolongan yang lain adalah di dasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut:
1)      Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik.
2)  Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik
logoblog

Thanks for reading Pengertian Perjanjian menurut para Ahli

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment

Contoh Soal PLH Kelas VIII

SOAL PLH KELAS VIII PENGHIJAUAN LINGKUNGAN Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar, dengan memberikan tanda silang (X) pad...

close