BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usia dini merupakan
masa keemasan sekaligus masa kritis dalam tahapan kehidupan manusia, yang akan
menentukan perkembangan anak selanjutnya. Masa ini merupakan masa yang tepat
untuk meletakan dasar bagi kemampuan fisik, bahasa, sosial emosional, konsep
diri, seni, moral dan nilai-nilai agama. Sehingga upaya pengembangan seleuruh
potensi anak usia dini harus dimulai agar pertumbuhan dan perkembangan anak
tercapai secara optimal.
Hal tersebut merupakan
hak bagi anak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup,
tumbuh, berkembang dan berprestasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Salah satu implementasi dari hak tersebut, setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pembelajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
guru/tutor sebagai ujung tombak pendidikan anak usia dini harus mampu
mengembangkan pendekatan, model dan metode pembelajaran yang mampu
mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak, baik perkembangan intelektual,
fisik, maupun perkembangan mental-emosionalnya. Dalam hal ini, pemilihan dan
penyusunan model dan metode pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran dan sarana belajar yang tersedia.
B. Rumusan Masalah
Berdasatkan
uraian di atas, maka rumusan masalah dapat disusun sebagai berikut:
1.
Metode-metode
pembelajaran apa saja yang biasa dilakukan dalam pembelajaran anak usia dini?
2.
Bagaimana
keunggulan dan kekurangan masing-masing metode pembelajaran tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
metode-metode pembelajaran apa saja yang biasa dilakukan dalam
pembelajaran anak usia dini?
2.
Apa
kelebihan dan kelemahan metode-metode pembelajaran anak usia dini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembelajaran
Anak Usia Dini
Pembelajaran pada hakikatnya
merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa/anak, baik interaksi secara
langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yakni dengan
menggunakan berbagai media pembelajaran. Proses
pembelajaran di PAUD pada umumnya dilandasi oleh dua teori belajar, yaitu
behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua aliran tersebut memiliki karakteristik
berbeda. Aliran pertama menitikberatkan pada hasil dari proses belajar, yang
kedua menekankan pada proses belajar itu sendiri.
Sementara terkait dengan
metode pembelajaran, ada beberapa metode yang dapat diterapkan di PAUD: (1)
metode bermain, (2) metode karyawisata, (3) metode bercakap-cakap, (4) metode
bercerita, (5) metode demonstrasi, (6) metode proyek, dan (7) metode pemberian
tugas.
B. Model
Pembelajaran
Pada proses penerapannya, istilah-istilah
seperti model, pendekatan, strategi, metode, teknik, dan sebagainya sangatlah
familiar dalam lingkup pembelajaran. Akan tetapi istilah-istilah tersebut
seringkali kemudian menyebabkan timbulnya kebingungan pada sebagian orang.
Model pembelajaran, menurut Joyce
& Weil, adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk
kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan pembelajaran,
dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan
pola pilihan, artinya guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan
efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.
Berdasarkan teorinya, pembelajaran
dikategorikan menjadi beberapa model. Di antaranya:
1.
Model interaksi sosial
2.
Model pemrosesan informasi
3.
Model personal
Selanjutnya Rusman menerangkan bahwa
terdapat strategi pembelajaran untuk masing-masing model tersebut. Salah satu
dari keempat model tersebut, yakni model pemrosesan informasi meliputi strategi
pembelajaran seperti: (1) mengajar induktif, (2) latihan inquiry, (3) inquiry
keilmuan, (4) pembentukan konsep, (5) model pengembangan, dan (6) advanced
organizer model. Sedikit uraian mengenai inquiry—berikut
istilah yang seringkali menjadi padanannya, yakni discovery—dapat
dilihat pada poin berikut.
C. Inquiry
Strategi pembelajaran inkuiri (SPI)
menekankan pada proses mencari dan menemukan. Materi tidak diberikan secara
langsung. Peran anak dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri
materi pelajaran. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing
anak untuk belajar.
SPI banyak dipengaruhi oleh aliran
belajar kognitif. Menurut aliran ini belajar pada hakikatnya adalah proses
mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki
setiap individu secara optimal. Belajar lebih dari sekadar menghafal dan
menumpuk ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan yang diperolehnya
bermakna untuk anak melalui keterampilan berpikir. Masih menurut teori ini,
belajar pada hakikatnya bukan peristiwa behavioral yang dapat diamati, tetapi
proses seseorang untuk memaknai lingkungannya sendiri. Proses mental inilah
yang sebenarnya aspek yang sangat penting dalam perilaku belajar itu sendiri.
Teori belajar lain yang mendasari
SPI adalah teori belajar konstruktivistik. Teori ini dikembangkan oleh Piaget.
Menurutnya, pengetahuan itu akan bermakna manakala dicari dan ditemukan sendiri
oleh anak. Sejak kecil, menurut Piaget, setiap individu berusaha dan mampu
mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui skema yang ada dalam struktur
kognitifnya. Skema tersebut secara terus-menerus diperbarui dan diubah melalui
proses asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian, tugas guru adalah mendorong
anak untuk mengembangkan skema yang terbentuk melalui kedua proses tersebut.
SPI adalah rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis
untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.
Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru
dan anak. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic,
yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein, berarti saya
menemukan.
Ciri-ciri utama pembelajaran inkuiri
sendiri dapat diamati melalui pembacaan aspek-aspek berikut.
1.
Menekankan kepada aktivitas anak secara maksimal untuk
mencari dan menemukan, artinya strategi ini menempatkan anak sebagai subyek
belajar. Anak tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui
penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri
inti dari materi pelajaran itu sendiri.
2.
Seluruh aktivitas anak diarahkan untuk mencari dan
menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan
dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Guru di sini sebagai fasilitator dan
motivator belajar anak. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui tanya
jawab antara guru dan anak. Jadi kemampuan guru dalam menggunakan teknik
bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
3.
Tujuan penggunaan SPI adalah mengembangkan kemampuan
berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan
intelektual sebagai bagian dari proses mental. Anak tidak hanya dituntut untuk
menguasai materi, tetapi ia diarahkan pula untuk dapat menggunakan segala
potensinya.
SPI merupakan bentuk dari pendekatan
pembelajaran yang berorientasi kepada anak (student centered approach).
Dikatakan demikian karena dalam strategi ini anak memegang peran yang sangat
dominan dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran inkuiri merupakan
kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan anak
untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara
sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri
penemuannya dengan penuh percaya diri.
Rujukan lain menekankan bahwa inquiry
(menemukan) merupakan kegiatan inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL.
Pengetahuan dari keterampilan yang diperoleh anak bukan hasil mengingat
seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus
merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan apapun materi yang
diajarkannya.
Joyce mengemukakan kondisi-kondisi
umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi anak, yaitu:
1.
Aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka
dan permisif yang mengundang anak berdiskusi;
2.
Berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya;
dan
3.
Penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses
pembelajaran dibicarakan validitas dan realibilitas tentang fakta, sebagaimana
lazimnya dalam pengujian hipotesis.
Sementara itu Syaiful Sagala
menuturkan bahwa pendekatan inquiry dapat dilaksanakan apabila
syarat-syarat berikut dipenuhi.
1.
Guru harus terampil memilih persoalan yang relevan
untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dari bahan/materi yang
menantang/problematik)
2.
Guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar anak
dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan
3.
Adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup
4.
Adanya kebebasan anak untuk berpendapat, berkarya,
berdiskusi
5.
Partisipasi setiap anak dalam kegiatan belajar
Kemudian SPI akan efektif tatkala:
1.
Guru mengharapkan anak dapat menemukan sendiri jawaban
dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Penguasaan materi bukan tujuan
utama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah proses belajar.
2.
Bahan pembelajaran tidak berbentuk fakta atau konsep
yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
3.
Proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu anak
terhadap sesuatu.
4.
Guru akan mengajar pada sekelompok anak yang rata-rata
memiliki kemauan dan kemampuan berpikir. SPI akan kurang berhasil diterapkan
kepada anak yang kurang memiliki kemampuan untuk berpikir.
5.
Jumlah anak yang belajar terlalu banyak sehingga bisa
dikendalikan oleh guru.
Dalam praktiknya, guru dituntut
untuk tidak mengabaikan prinsip-prinsip penggunaan SPI berikut.
- Berorientasi pada pengembangan intelektual
- Prinsip interaksi
- Prinsip bertanya
- Prinsip belajar untuk berpikir
- Prinsip keterbukaan
Adapun urutan langkah-langkah
pelaksanaan SPI secara umum meliputi: (1) orientasi, (2) merumuskan masalah,
(3) mengajukan hipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) menguji hipotesis, dan (6)
merumuskan kesimpulan.
Keenam langkah tersebut senada
dengan apa yang dikemukakan oleh Riyanto. Dengan istilah yang sedikit berbeda,
ia menggunakan kata Siklus Inquiry yang mencakup urutan observation,
questioning, hypothesis, data gathering, conclusion.
Sementara itu, berhubungan dengan
langkah-langkah di atas Amri dan Ahmadi menjelaskan bahwa kemampuan yang
dituntut menurut tahapan-tahapan inkuiri berupa:
1.
Merumuskan masalah. Kemampuan yang dituntut: kesadaran
terhadap masalah, melihat pentingnya masalah, merumuskan masalah.
2.
Mengembangkan hipotesis. Kemampuan yang dituntut:
menguji dan menggolongkan yang dapat diperoleh, melihat dan merumuskan hubungan
yang ada secara logis, dan merumuskan hipotesis.
3.
Menguji jawaban tentatif. Kemampuan yang dituntut:
a.
Merakit peristiwa, terdiri dari: mengidentifikasi peristiwa
yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data.
b.
Menyusun data, terdiri dari: mentranslasikan data,
menginterpretasikan data dan mengklasifikasikan data.
c.
Analisis data, terdiri dari: melihat hubungan,
mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan tren, sekuensi, dan
keteraturan.
4.
Menarik kesimpulan. Kemampuan yang dituntut:
a.
Mencari pola dan makna hubungan
b.
Merumuskan kesimpulan
Selanjutnya guru dalam mengembangkan
sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman
yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan merefleksikan
pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.
Runtutan penerapan SPI sebagaimana
tergambar di atas ternyata tidak semudah apa yang dibayangkan. Berbagai
kesulitan pun muncul ketika guru harus menerapkan strategi tersebut. Di antara
kesulitan-kesulitan yang dihadapi adalah:
1.
Karena SPI menekankan kepada proses, guru yang sudah
terbiasa menekankan kepada hasil belajar akan kesulitan, bahkan keberatan untuk
mengubah pola mengajarnya.
2.
Sejak lama telah tertanam dalam budaya belajar anak
bahwa belajar pada dasarnya adalah menerima materi dari guru. Dengan demikian
bagi mereka guru adalah sumber belajar yang utama. Dengan kondisi seperti itu,
anak akan sulit diajak memecahkan persoalan. Anak juga akan sulit disuruh untuk
bertanya.
3.
Guru kebingungan antara penerapan pembelajaran yang
mementingkan kepada proses atau kepada hasil.
Terlepas dari perdebatan mengenai
kesulitan-kesulitan tersebut, SPI juga memiliki keunggulan dan kelemahan. Di
antara keunggulannya adalah:
1.
SPI merupakan strategi yang menekankan pada
pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga
pembelajaran melalui strategi ini dianggap lebih bermakna.
2.
SPI dapat memberikan ruang kepada anak untuk belajar
sesuai dengan gaya belajar mereka.
3.
SPI merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan
perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses
perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
4.
SPI dapat melayani kebutuhan anak yang memiliki
kemampuan di atas rata-rata. Anak yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak
akan terhambat oleh anak yang lemah dalam belajar.
Sementara kelemahan yang dimiliki
dari penerapan strategi pembelajaran inkuiri adalah:
1.
Jika SPI digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka
akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan anak.
2.
SPI sulit dalam merencanakan pembelajaran karena
terbentur dengan kebiasaan anak dalam belajar.
3.
Dalam penerapannya, kadang-kadang memerlukan waktu
yang cukup panjang, sehingga guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah
ditentukan.
4.
Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh
kemampuan anak menguasai materi pelajaran, maka SPI akan sulit diterapkan oleh
setiap guru.
Setelah mengetahui kelebihan dan
kelemahan SPI, hendaknya guru dapat mengantisipasi jika ingin menerapkan
strategi tersebut, sehingga kekurangan dalam pelaksanaannya dapat tertutupi.
Kemudian istilah inquiry terkadang disepadankan dengan discovery.
Istilah pertama sudah mafhum dan telah dibahas, sedangkan untuk lebih
jelasnya mengenai istilah yang kedua dapat disimak melalui pembahasan berikut.
D. Discovery
Discovery adalah
proses mental di mana anak mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip.
Proses mental tersebut antara lain adalah mengamati, mencerna, mengerti,
menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan
sebagainya. Suatu konsep misalnya segitiga, panas, demokrasi, dan lain-lain.
Sedangkan yang dimaksud prinsip misalnya logam apabila dipanaskan akan
mengembang. Dalam teknik ini anak dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami
proses mental itu sendiri. Guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Di
antara caranya adalah dengan tukar pendapat, diskusi, seminar, membaca dan
mencoba sendiri, sehingga anak dapat belajar sendiri. Dengan teknik ini guru
berusaha meningkatkan aktivitas anak dalam proses belajar mengajar.
Terdapat beberapa keunggulan dari
kegiatan discovery yang dapat dijabarkan sebagaimana berikut.
1.
Membantu anak untuk mengembangkan, memperbanyak
kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan anak.
2.
Anak memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat
pribadi/individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa anak
tersebut.
3.
Membangkitkan kegairahan belajar anak.
4.
Memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang dan
maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
5.
Mampu mengarahkan cara anak belajar, sehingga lebih
memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
6.
Membantu anak untuk memperkuat dan menambah
kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
7.
Strategi berpusat pada anak, bukan pada guru. Guru
hanya sebagai teman belajar, membantu bila diperlukan.
Sementara kelemahan dari kegiatan discovery
dapat diamati dari serentetan poin berikut.
1.
Pada anak harus ada kesiapan dan kematangan mental
untuk cara belajar ini. Anak harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui
keadaan sekitarnya dengan baik.
2.
Bila kelas terlalu besar, penggunaan teknik ini akan
kurang berhasil.
3.
Bagi guru dan anak yang sudah terbiasa dengan
perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti
dengan teknik penemuan.
4.
Ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu
mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan
perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi anak.
Strategi belajar discovery
paling baik dilaksanakan dalam kelompok belajar kecil. Namun ia dapat juga
dilakukan dalam kelompok belajar yang lebih besar. Meskipun tidak semua anak
dapat terlibat dalam proses discovery, namun pendekatan ini dapat
memberikan manfaat bagi anak yang belajar. Pendekatan ini dapat dilaksanakan
dalam bentuk komunikasi satu arah ataupun dua arah, bergantung pada besarnya
kelas.
1.
Sistem satu arah (ceramah reflektif)
Pendekatan satu arah artinya
penyajian satu arah (penuangan/exposition) yang dilakukan guru. Struktur
penyajiannya dalam bentuk usaha merangsang anak melakukan proses discovery di
depan kelas. Guru mengajukan suatu masalah dan kemudian memecahkan masalah
tersebut melalui langkah-langkah discovery. Caranya adalah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada kelas untuk
melakukan refleksi. Selanjutnya guru menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan itu. Dalam prosedur ini guru tidak menentukan/menunjukkan
aturan-aturan yang harus digunakan oleh anak, tetapi dengan
pertanyaan-pertanyaan guru mengundang anak untuk mencari aturan-aturan yang harus
diperbuatnya. Pemecahan masalah berlangsung selangkah semi selangkah dalam
urutan yang ditemukan sendiri oleh anak. Guru mengharapkan agar anak secara
keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secara reflektif. Penggunaan discovery
dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman guru
sendiri, serta waktu dan kemampuan mengatasi kesulitan anak.
Ada yang menyebut discovery
learning sebagai belajar inkuiri (inquiry learning), yaitu suatu
kegiatan belajar yang mengemukakan aktivitas anak. Inkuiri menekankan kepada
proses mencarinya, sedangkan discovery menekankan kepada penemuannya.
Anak yang melakukan kegiatan pencarian, apalagi yang sistematis dan teratur,
kemungkinan besar akan menemukan sesuatu, sedangkan penemuan pada hakikatnya
adalah suatu hasil dari proses pencarian. Strategi jenis ini memadukan konsep
psikologi naturalistik romantik dan kognitif-gestalt.
Dalam strategi ini, bentuk bahan
ajar tidak dijadikan sebagai bahan jadi, tetapi dapat berupa bahan setengah
jadi, bahkan bahan seperempat jadi. Bahan pembelajaran dinyatakan sebagai
rangkaian pertanyaan terstruktur yang harus dijawab oleh anak. Dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu, anak nantinya tidak saja mendapatkan pemahaman
menyeluruh terhadap suatu obyek kajian, tetapi pemahamannya juga dikembangkan
secara bertingkat, sampai kemudian, …aha, aku telah menemukan! Berbeda
dengan pendekatan behaviorisme di mana jawaban dari suatu pertanyaan merupakan
jawaban tunggal yang pasti benar.
Dalam pembelajaran penemuan ada
sejumlah alternatif jawaban dengan nuansa perbedaan yang tipis, dalam hal ini
tingkat kedewasaan atau kematangan struktur kognitif anak yang akan mampu
membedakan. Dimungkinkan juga jawaban dari pertanyaan tersebut berupa jawaban
hipotetik yang harus dibuktikan lebih lanjut kebenarannya.
Beberapa metode pembelajaran yang
termasuk dalam strategi discovery di antaranya: pembelajaran yang
menggunakan lingkungan, pengamatan, percobaan, dan pemecahan masalah.
E. Implementasi
Inquiry-Discovery dalam Pembelajaran Anak Usia Dini
Pada pembahasan awal telah dipetakan
masing-masing dari inquiry dan discovery. Kedua istilah tersebut
sesungguhnya memiliki persamaan, sehingga tidak heran jika terkadang kedua kata
itu dipertukarkan. Persamaan antara keduanya dapat dilihat melalui uraian
berikut.
·
Sama-sama mencakup proses mencari dan menemukan
·
Guru bertindak sama, yakni sebagai fasilitator dan
pembimbing
·
Kedua strategi ini berpusat pada anak (student/children
centered)
·
Contoh penerapannya adalah melalui diskusi/tanya jawab
·
Kurang efektif untuk kelas besar
Selanjutnya berikut ini adalah
penjabaran mengenai implementasi dari model inquiry-discovery pada ranah
PAUD.
Telah disinggung di awal bahwa di
antara metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses penerapan
inquiry-discovery adalah pembelajaran yang menggunakan lingkungan,
pengamatan, percobaan, dan pemecahan masalah.
Pembelajaran yang menggunakan
lingkungan akan sangat berkaitan dengan pendidikan berwawasan lingkungan.
Pendidikan ini bertujuan membentuk perilaku, nilai, dan kebiasaan untuk
menghargai lingkungan. Pembelajarannya akan cenderung outdoor (di luar
ruangan). Pada tataran praktis, anak dikenalkan sejak dini tentang
lingkungannya, terutama konteks di mana anak berada. Anak juga diajak untuk
merasakan langsung bahwa ia adalah bagian dari lingkungan. Di lingkungannya,
anak dapat diarahkan untuk mengamati kemudian membedakan benda hidup dan benda
mati.
Pembelajaran dengan lingkungan
sebagai sumber belajar merupakan bentuk tantangan terhadap pola pembelajaran
yang selama ini berkutat di dalam kelas (indoor). Di lingkungannya, anak
dapat lebih bebas bersosialisasi dengan anak sebaya, orang dewasa, pun juga
dengan binatang, tumbuhan, atau dengan makhluk hidup lainnya. Dengan
pembelajaran ini anak dapat menemukan perbedaan antara dia dengan anak-anak
lainnya, begitu juga dengan dunia sekitarnya. Dengan rasa ingin tahunya yang
luar biasa, anak dapat diajak berpetualang untuk mendapatkan segala sesuatu
yang baru. Anak sangat senang mencoba baik dengan cara memegang, memakan atau melempar
benda-benda dan minat yang kuat untuk mengamati lingkungan.
Lingkungan sendiri sebagai sumber
belajar dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan
makhluk hidup—termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup
lainnya, sehingga memungkinkan anak usia dini untuk belajar tentang informasi,
orang, bahan, dan alat. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur makhluk hidup,
benda mati, dan budaya manusia. Pada proses pembelajaran, misalnya, anak-anak
dapat dirangsang untuk menjawab pertanyaan tentang berapa jumlah temannya yang
laki-laki dan berapa yang perempuan. Di samping itu anak juga dapat diberi
stimulus untuk membedakan ukuran bebatuan, jenis binatang ternak, dan
lain-lain.
Pembelajaran yang menggunakan metode
percobaan dapat dicontohkan proses penerapannya oleh anak-anak dengan berlatih
mencampur warna (dengan bahan cat tembok sederhana). Dengan cara seperti itu,
anak akan menemukan warna hijau ketika ia telah mencampur cat warna kuning
dengan warna biru. Warna orange dapat diperoleh dengan mencampur cat merah
dengan cat kuning. Eksperimen lain yang dapat ditempuh adalah percobaan untuk
menemukan konsep panjang dan pendek (dengan dua/lebih potongan kayu), tinggi
dan rendah (aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah),
dan sebagainya.
Pembelajaran untuk pemecahan masalah
dapat dilakukan dengan pemberian masalah sederhana kepada anak. Misalnya,
dengan permainan balok, anak diberi rangsangan untuk menyelesaikan bagaimana
meletakkan balok segitiga, segiempat, segilima, atau lingkaran, ke tempatnya
masing-masing. Selain itu, dengan pola pembelajaran kooperatif anak-anak akan
terlihat bentuk kerjasamanya ketika mereka diberi seutas tali untuk memindahkan
benda seberat sekian kilogram dari satu tempat ke tempat lain.
Dari contoh-contoh tersebut,
pastinya masih terdapat beragam contoh lain dari implementasi inquiry-discovery
dalam pembelajaran anak usia dini. Dengan menggunakan beraneka ragam pendekatan
ataupun metode, guru diharapkan dapat memanfaatkan model inquiry-discovery
sebagai sebuah alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga anak-anak
dapat memperoleh pengalaman yang signifikan dari proses belajarnya. Agar
penerapan model tersebut berjalan efektif dan efisien, guru hendaknya tetap
memperhatikan langkah-langkah sebagaimana yang telah diuraikan di awal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menjadi
guru PAUD yang Profesional dan memiliki karakter mulia dan terpuji yang disukai
dan ditauladani oleh anak-anak bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus
diketahui dan dimiliki untuk bisa menjadi seorang guru PAUD yang diharapkan.
Apa saja hal-hal yang harus diketahui dan dimiliki oleh seorang guru PAUD?
Sebelumnya
perlu kita ketahui bersama bahwa Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah
jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya
pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal,
nonformal, dan informal.
Pendidikan
anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta,
kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku
serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Untuk
itu perlu didukung oleh guru guru yang profesional di bidangnya. Ciri-ciri guru
paud yang professional adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik
setidak-tidaknya (S1/DIV) dan memiliki 4 kompetensi profesi yang meliputi
kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi professional dan
kompetensi sosial.
B.
Saran
Referensi
Amri, Sofan dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran:
Pengaruhnya terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum, Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2010.
Andrianto,
Dedy, Memanfaatkan Lingkungan Sekitar sebagai Sumber Belajar Anak Usia Dini,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini-Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan
Nasional, 2011.
Hamalik,
Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta:
Bumi Aksara, 2010.
Riyanto,
Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik
dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, Jakarta:
Kencana, 2010.
Roestiyah
N.K., Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Rineka Cipta.
Rusman, Model-model
Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Sagala,
Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sanjaya,
Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana, 2006.
Suyono dan
Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan:
Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis, Bandung: PT Imtima, 2007
No comments:
Post a Comment