Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Business

Saturday, 5 May 2018

Penyelesaian Sengketa Konsumen

  kangato       Saturday, 5 May 2018

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak atau kepentingan konsumen, maka pihak yang merasa dirugikan kepentinggannya dapat mengajukan gugatan, sebagaimana adanya asas hukum yang berbunyi point d’interet, point d action (tiada kepentingan, maka tidak ada aksi) menggambarkan bahwa gugatan diajukan untuk mempertahankan hak (kepentingan) orang atau badan hukum yang dilanggar. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan. Pada umumnya, suatu gugatan diajukan oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk kepentingan mereka, atau juga oleh satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan badan hukum itu sendiri, yang dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang kuasa.
1.      Pengertian  Sengketa Konsumen
Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) diantara para pihak yang terlibat, selain itu ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban serta larangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan atau menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan tidak memenuhi kewajibannya. Misalnya, pembeli tidak memperoleh barang sesuai dengan pesanannya, atau pembeli tidak mendapat pelayanan sebagaimana telah disepakati, atau penjual tidak mendapatkan pembayaran sesuai dengan haknya. Jadi yang dimaksud sengketa konsumen dalam hal ini adalah sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen yang berawal dari transaksi konsumen. Jadi apabila  sengketa sesama pelaku usaha bukanlah termasuk sengketa konsumen. Dalam hal ini sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu:
a.       Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum.
b.      Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti, baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat diantara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.
2.      Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen, dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya. Penyelesaian sengketa secara hukum ini bertujuan untuk memberi penyelesaian yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan begitu, rasa keadilan dapat ditegakkan dan hukum dijalankan sebagaimana mestinya.
Menurut Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Berdasarkan ketentuan ini, dapat dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen, yakni melalui jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan.
a.       Melalui pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia.
b.      Di luar pengadilan
Berdasarkan pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, disebutkan bahwa:
“ penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”
Lembaga yang menangani penyelesaian sengketa di luar pengadilan   tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hal ini diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
3.      Badan Peradilan Negara
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penegasan ini berarti bahwa tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yag dilakukan oleh bukan badan peradilan negara seperti peradilan swapraja dan adat karena peradilan tersebut telah dihapus dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Demikian juga di dalam Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa:
“ Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.”

a.       Peradilan umum
Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten, sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota Propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Peradilan umum  dalam hal ini berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan pengadilan dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang piutang atau hak-hak keperdataan lainnya.
b.      Peradilan agama
Peradilan agama merupakan kekuasaan negara dalam menerima memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
c.       Peradilan militer
Peradilan militer berwenang untuk memeriksa, mengadili, memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d.      Peradilan Tata Usaha Negara
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Daerahnya meliputi wilayah Kotamadya dan Kabupaten. Pengadilan Tata Usaha Negara ini dibentuk oleh Keputusan Presiden, sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk oleh undang-undang.
Menurut Pasal 25 ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sengketa Tata Usaha Negara adalah:
a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.       Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c.       Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan, setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
4.      Asas-asas Peradilan
Asas-asas peradilan meliputi:
a.       Mendengar kedua belah pihak
Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang seperti yang dimuat dalam  Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi :
“ pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
Mengandung arti bahwa pihak-pihak yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “ audi et alteram pertem” atau Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide” yang artinya bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
b.      Terbukanya persidangan
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang bebas untuk menghadiri dan mendengarkan jalannya sidang pengadilan. Dengan asas ini diharapkan obyektivitas pengadilan akan lebih terjamin, pemeriksaan akan lebih fair, tidak memihak dan putusan akan lebih adil sehingga sosial kontrol akan lebih terbuka terhadap badan peradilan. Di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa:
1)      Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
2)      Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukumapabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3)      Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

c.       Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
“ Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.
d.      Sederhana, cepat, dan biaya ringan
Di dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan  bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.  Sederhana artinya jelas, mudah dimengerti, dan tidak berbelit-belit. Terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum. Kata “cepat” dimaksudkan bahwa terlalu banyak formalitas akan merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Cepatnya proses peradilan akan meningkatkan wibawa pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat. Biaya ringan dimaksudkan bahwa dengan biaya perkara yang tinggi akan membuat orang enggan berperkara.
5.      Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa
Menurut Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud alternative penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Adapun menurut Philip D. Bostwick, bahwa ADR adalah sebuah perangkat pengalaman dan teknik umum yang bertujuan:
a.       Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak.
b.       Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang bisa terjadi.
c.       Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke Pengdilan.
Sedangkan menurut Altschul, Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas dan meniadakan pemeriksaan yang bertele-tele.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara yakni melalui arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari alternatif penyelesaian sengketa karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Walaupun terdapat berbagai cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, namun yang dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase, konsiliasi dan mediasi.
1.      Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkanpada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dapat dilakukan oleh dua cara, yaitu pertama dengan perjanjian arbitrase yang mengandung klausula arbitrase (pactum de compromittendo) yaitu suatu klausula dalam perjanjian arbitrase yang isinya menentukan bahwa para pihak sepakat untuk mengajukan perselisihannya kepada seorang arbiter atau majelis arbitrase, jadi klausula arbitrase ini dibuat sebelum terjadinya sengketa. Yang kedua adalah dengan suatu perjanjian arbitrase tersendiri (akta kompromi), yaitu perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi kepada seorang arbiter atau wasit untuk diselesaikan. Pada persidangan dengan cara arbitrase ini, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutus dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan Majelis BPSK dengan cara arbitrase ini ditempuh melalui dua tahap yaitu Pertama, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis BPSK. Kedua, arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis BPSK. Jadi unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi Ketua Majelis. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila para pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan.
1.      Konsiliasi
Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang juga dapat ditempuh di luar pengadilan.  yang diartikan sebagai : an independent person (consiliator) brings the parties together and encourages a mutually acceptable resolution of the dispute by facilitating communication between the parties. Menurut Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 dijelaskan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga penyerahan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase.
Ketidakterikatan para pihak terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang dihadapi oleh para pihak tersebut, menyebabkan penyelesaiannya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak.
Cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK yang ditangani oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bersifat pasif dalam persidangan. Sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa, Majelis BPSK bertugas:
a.       Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b.      Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c.       Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d.      Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Berdasarkan Pasal 29 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/kep/12/2001, bahwa prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara konsiliasi ada 2 (dua) yaitu: Pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak pasif sebagai konsiliator. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.   
2.      Mediasi
Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.
Menurut Riskin dan Westbrook, mediasi merupakan:
Mediasi is an informal process in which a neutral third party helps other resove a dispute or plan a transaction but does not (and ordinarily does not have the power to) impose a solution.
Sementara menurut Pasal 1 angka 10 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menjelaskan bahwa mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindaak aktif sebagai mediator. Cara mediasi ini hampir sama dengan cara konsiliasi, yang membedakan diantara keduanya adalah kalau mediasi didampingi oleh majelis yang aktif, sedangkan cara konsiliasi didampingi majelis yang pasif.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Jadi dalam hal ini peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakikatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi, sehingga hasil penyelesaian dalam bentu kompromi terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak, dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa final dan tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk memenuhi secara sukarela.
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi ini adalah karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian, pembuktian tidak lagi menjadi beban yang memberatkan para pihak.
Keuntungan lain dalam penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa karena penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia ( tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), saling memberikan keuntungan dalam kompromi, hubungan kedua pihak bersifat kooperatif, tidak ada pihak yang kalah atau menang, tapi sama-sama menang, serta tidak emosional.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menentukan adanya pemisahan keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bertindak sebagai arbitrator, konsiliator maupun mediator, maka setiap anggota dapat bertindak baik sebagai arbitrator, konsiliator, maupum mediator. Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti bahwa setiap sengketa diusahakan diselesaikan melalui mediasi, apabila penyelesaian tersebut gagal barulah ditingkatkan menjadi penyelesaian melalui konsiliasi, dan seterusnya apabila masih gagal, maka penyelesaian dilakukan melalui peradilan arbitrase.

logoblog

Thanks for reading Penyelesaian Sengketa Konsumen

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment

Contoh Soal PLH Kelas VIII

SOAL PLH KELAS VIII PENGHIJAUAN LINGKUNGAN Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar, dengan memberikan tanda silang (X) pad...

close