PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN
Apabila
terjadi pelanggaran terhadap hak atau kepentingan konsumen, maka pihak yang
merasa dirugikan kepentinggannya dapat mengajukan gugatan, sebagaimana adanya
asas hukum yang berbunyi point d’interet,
point d action (tiada kepentingan, maka tidak ada aksi) menggambarkan bahwa
gugatan diajukan untuk mempertahankan hak (kepentingan) orang atau badan hukum
yang dilanggar. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan,
maka ia tidak dapat mengajukan gugatan. Pada umumnya, suatu gugatan diajukan
oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk kepentingan mereka, atau juga
oleh satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan badan hukum itu sendiri,
yang dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang kuasa.
1. Pengertian
Sengketa Konsumen
Dengan maraknya
kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) diantara para pihak
yang terlibat, selain itu ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban
serta larangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. Sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan atau
menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan tidak memenuhi
kewajibannya. Misalnya, pembeli tidak memperoleh barang sesuai dengan
pesanannya, atau pembeli tidak mendapat pelayanan sebagaimana telah disepakati,
atau penjual tidak mendapatkan pembayaran sesuai dengan haknya. Jadi yang
dimaksud sengketa konsumen dalam hal ini adalah sengketa yang timbul antara
pelaku usaha dan konsumen yang berawal dari transaksi konsumen. Jadi apabila sengketa sesama pelaku usaha bukanlah termasuk
sengketa konsumen. Dalam hal ini sengketa konsumen dapat bersumber dari dua
hal, yaitu:
a. Pelaku usaha
tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya
sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam
menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang
bersumber dari hukum.
b. Pelaku usaha
atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti, baik pelaku usaha
maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau
perjanjian yang dibuat diantara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut
sengketa yang bersumber dari kontrak.
2. Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sebagaimana
sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan sehingga
tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen, dimana masing-masing
pihak mendapatkan kembali hak-haknya. Penyelesaian sengketa secara hukum ini
bertujuan untuk memberi penyelesaian yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak
kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan begitu, rasa keadilan dapat
ditegakkan dan hukum dijalankan sebagaimana mestinya.
Menurut Pasal 45
ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Berdasarkan ketentuan
ini, dapat dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen, yakni
melalui jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan.
a. Melalui pengadilan
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum
yang berlaku di Indonesia.
b. Di luar
pengadilan
Berdasarkan
pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, disebutkan bahwa:
“ penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak
akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen.”
Lembaga
yang menangani penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK). Hal ini diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999, bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di
Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, apabila telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya
dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
3. Badan Peradilan Negara
Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan negara yang ditetapkan
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penegasan
ini berarti bahwa tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yag
dilakukan oleh bukan badan peradilan negara seperti peradilan swapraja dan adat
karena peradilan tersebut telah dihapus dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 merupakan induk dan kerangka umum
yang meletakkan dasar dan asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 disebutkan
bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Demikian juga di
dalam Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa:
“ Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara.”
a. Peradilan umum
Kekuasaan
kehakiman dalam lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota
Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten,
sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota Propinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Peradilan
umum dalam hal ini berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kekuasaan pengadilan dalam perkara perdata
meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya,
hutang piutang atau hak-hak keperdataan lainnya.
b. Peradilan agama
Peradilan
agama merupakan kekuasaan negara dalam menerima memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut
ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syariah.
c. Peradilan
militer
Peradilan
militer berwenang untuk memeriksa, mengadili, memutus perkara tindak pidana
militer sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d. Peradilan Tata
Usaha Negara
Kekuasaan
kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang
berpuncak pada Mahkamah Agung. Daerahnya meliputi wilayah Kotamadya dan
Kabupaten. Pengadilan Tata Usaha Negara ini dibentuk oleh Keputusan Presiden,
sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk oleh undang-undang.
Menurut Pasal 25
ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, yaitu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sengketa Tata Usaha Negara adalah:
a.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada
waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c.
Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan, setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan
keputusan tersebut.
4. Asas-asas Peradilan
Asas-asas peradilan meliputi:
a. Mendengar kedua
belah pihak
Bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang seperti yang
dimuat dalam Pasal 4 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi :
“ pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang.”
Mengandung arti
bahwa pihak-pihak yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas
perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk
memberi pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal
dengan asas “ audi et alteram pertem”
atau Eines Mannes Rede ist keines Mannes
Rede, man soll sie horen alle beide” yang artinya bahwa hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak
didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini
berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang
dihadiri oleh kedua belah pihak.
b. Terbukanya
persidangan
Sidang
pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti
bahwa setiap orang bebas untuk menghadiri dan mendengarkan jalannya sidang
pengadilan. Dengan asas ini diharapkan obyektivitas pengadilan akan lebih
terjamin, pemeriksaan akan lebih fair, tidak memihak dan putusan akan lebih
adil sehingga sosial kontrol akan lebih terbuka terhadap badan peradilan. Di
dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa:
1)
Semua
sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain.
2)
Putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukumapabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
3)
Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
c. Putusan harus
disertai alasan-alasan
Semua putusan
pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
“ Putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.”
Alasan-alasan
atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban hakim dari pada
putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan
ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya
alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim
tertentu yang menjatuhkannya.
d. Sederhana,
cepat, dan biaya ringan
Di
dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Sederhana
artinya jelas, mudah dimengerti, dan tidak berbelit-belit. Terlalu banyak
formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka
ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum. Kata “cepat”
dimaksudkan bahwa terlalu banyak formalitas akan merupakan hambatan bagi
jalannya peradilan. Cepatnya proses peradilan akan meningkatkan wibawa
pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat. Biaya ringan dimaksudkan bahwa
dengan biaya perkara yang tinggi akan membuat orang enggan berperkara.
5. Alternative
Dispute Resolution (ADR) atau alternatif
penyelesaian sengketa
Menurut Pasal 1
ayat 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative
Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud alternative penyelesaian sengketa
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Adapun menurut
Philip D. Bostwick, bahwa ADR adalah sebuah perangkat pengalaman dan teknik
umum yang bertujuan:
a. Menyelesaikan
sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak.
b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran
waktu yang bisa terjadi.
c. Mencegah
terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke Pengdilan.
Sedangkan
menurut Altschul, Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pemeriksaan
sengketa oleh majelis swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan
menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas dan meniadakan pemeriksaan yang
bertele-tele.
Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai
cara yakni melalui arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference
serta bentuk lainnya. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan
dari alternatif penyelesaian sengketa karena yang termasuk dalam alternatif
penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli.
Walaupun
terdapat berbagai cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan, namun yang dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah
penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase, konsiliasi dan mediasi.
1.
Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkanpada perjanjian
arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dapat
dilakukan oleh dua cara, yaitu pertama
dengan perjanjian arbitrase yang mengandung klausula arbitrase (pactum de compromittendo) yaitu suatu
klausula dalam perjanjian arbitrase yang isinya menentukan bahwa para pihak
sepakat untuk mengajukan perselisihannya kepada seorang arbiter atau majelis
arbitrase, jadi klausula arbitrase ini dibuat sebelum terjadinya sengketa. Yang
kedua adalah dengan suatu perjanjian
arbitrase tersendiri (akta kompromi), yaitu perjanjian khusus yang dibuat
setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan
perselisihan yang telah terjadi kepada seorang arbiter atau wasit untuk
diselesaikan. Pada persidangan dengan cara arbitrase ini, para pihak
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutus dan menyelesaikan
sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan Majelis BPSK dengan cara
arbitrase ini ditempuh melalui dua tahap yaitu Pertama, para pihak memilih
arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen
sebagai anggota Majelis BPSK. Kedua,
arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari
anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis BPSK. Jadi unsur
pemerintah selalu dipilih untuk menjadi Ketua Majelis. Kelebihan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya langsung final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki
kekuatan eksekutorial, sehingga apabila para pihak yang dikalahkan tidak
memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi
ke pengadilan.
1.
Konsiliasi
Konsiliasi merupakan salah satu
alternatif penyelesaian sengketa yang juga dapat ditempuh di luar pengadilan. yang diartikan sebagai : an independent person (consiliator) brings the parties together and
encourages a mutually acceptable resolution of the dispute by facilitating
communication between the parties. Menurut Pasal 1 angka 9 Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 dijelaskan
bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa,
dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak
yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai
konsiliator. Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak
kesamaan dengan arbitrase, dan juga penyerahan kepada pihak ketiga untuk
memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak.
Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat
sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase.
Ketidakterikatan
para pihak terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa
yang dihadapi oleh para pihak tersebut, menyebabkan penyelesaiannya sangat
tergantung pada kesukarelaan para pihak.
Cara konsiliasi
ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa
konsumen ke BPSK yang ditangani oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang bersifat pasif dalam persidangan. Sebagai pemerantara antara para
pihak yang bersengketa, Majelis BPSK bertugas:
a. Memanggil
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b. Memanggil saksi
dan saksi ahli bila diperlukan;
c. Menyediakan
forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d. Menjawab
pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan konsumen.
Berdasarkan
Pasal 29 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/kep/12/2001, bahwa prinsip
tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara konsiliasi ada 2
(dua) yaitu: Pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk
maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan
Majelis BPSK bertindak pasif sebagai konsiliator. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam
bentuk keputusan BPSK.
2.
Mediasi
Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.
Menurut Riskin dan Westbrook, mediasi
merupakan:
Mediasi is an
informal process in which a neutral third party helps other resove a dispute or
plan a transaction but does not (and ordinarily does not have the power to)
impose a solution.
Sementara
menurut Pasal 1 angka 10 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, menjelaskan bahwa mediasi merupakan proses penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat
dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini
dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh
majelis yang bertindaak aktif sebagai mediator. Cara mediasi ini hampir sama
dengan cara konsiliasi, yang membedakan diantara keduanya adalah kalau mediasi
didampingi oleh majelis yang aktif, sedangkan cara konsiliasi didampingi
majelis yang pasif.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan
masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan
pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan
memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang
untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Jadi dalam hal ini
peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakikatnya hanya menolong para pihak
untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi, sehingga
hasil penyelesaian dalam bentu kompromi terletak sepenuhnya pada kesepakatan
para pihak, dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa final dan
tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk
memenuhi secara sukarela.
Keuntungan
penyelesaian sengketa melalui mediasi ini adalah karena cara pendekatan
penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi, sehingga
masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan fakta dan bukti yang
mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing.
Dengan demikian, pembuktian tidak lagi menjadi beban yang memberatkan para
pihak.
Keuntungan
lain dalam penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa karena penyelesaian
sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia ( tidak terbuka untuk
umum seperti di pengadilan), saling memberikan keuntungan dalam kompromi,
hubungan kedua pihak bersifat kooperatif, tidak ada pihak yang kalah atau
menang, tapi sama-sama menang, serta tidak emosional.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak
menentukan adanya pemisahan keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
yang bertindak sebagai arbitrator, konsiliator maupun mediator, maka setiap
anggota dapat bertindak baik sebagai arbitrator, konsiliator, maupum mediator.
Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen tersebut, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan
secara berjenjang, dalam arti bahwa setiap sengketa diusahakan diselesaikan
melalui mediasi, apabila penyelesaian tersebut gagal barulah ditingkatkan
menjadi penyelesaian melalui konsiliasi, dan seterusnya apabila masih gagal,
maka penyelesaian dilakukan melalui peradilan arbitrase.
No comments:
Post a Comment