Sejarah Islam di Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID,
Sejarawan dari Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, dan Susanto Zuhdi, guru
besar ilmu sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dari UI, mengakui bahwa
selama ini memang ada perdebatan soal sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Menurut
keduanya, perbedaan itu terjadi karena cara melihat awal mula dan gerakan Islam
di Indonesia.
Sementara
itu, Buya Hamka dalam sebuah seminar di tahun 1961 pernah mengungkapkan bahwa
sesungguhnya awal Islam masuk ke Indonesia itu pada abad ke-7 M yang dibawa
oleh orang-orang dari Makkah (Arab).
Sedangkan
perkembangan politik Islam semakin kuat pada abad ke-13 dan ke-14.
Selain
perdebatan mengenai sejarah masuknya Islam tersebut, perbincangan lainnya
adalah wilayah (daerah) yang pertama kali menerima Islam. Beberapa pengamat
sepakat menyebut wilayah Sumatera sebagai daerah pertama masuknya Islam.
Kerajaan
Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah.
Namun, ada pendapat lain dari Prof Ali Hasjmy dalam makalahnya pada “Seminar
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” yang digelar pada 1978. Menurut
Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.
Dari wilayah
Sumatera inilah, Islam kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia,
terutama pula Jawa.
Prof Hamka
dalam Sejarah Umat Islam, mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 Masehi duta
dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat
Rasulullah sendiri, yakni Muawiyah bin Abu Sofyan.
Diam-diam,
Muawiyah meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri
Daulah Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa
kala itu.
Ekspedisi
ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Berdasarkan kondisi ini,
Islam merambah tanah Jawa, juga pada abad awal Hijriah.
Pernyataan
Buya Hamka, Alwi Shihab, Crawfurd, Niemann, de Holander, dan Fazlur Rahman,
tampaknya kini semakin kuat dengan adanya temuan arkeologi atau harta karun di
peraian Cirebon ini.
Jika ini
terbukti kebenarannya, tentunya akan ada revisi sejarah bangsa Indonesia,
terutama dalam hal masuknya Islam ke Indonesia.
Karena itu,
diperlukan sebuah kepastian tentang hal ini oleh sejumlah instansi terkait
untuk menguak dan membuktikan kebenaran sejarah masuknya Islam di Indonesia. Wallahu
a’lam.
JEJAK ARKEOLOGI PENGARUH BUDAYA ISLAM DI WILAYAH MALUKU
DAN MALUKU UTARA
Pengaruh Islam hadir di wilayah Kepulauan Maluku setidaknya sejak pungkasan
Abad 14, yang ditandai dengan berdiri dan berkembangnya Kerajaan dengan
pemerintahan bercorak Islam. Di Wilayah Maluku Utara di kenal empat Kerajaan
Islam yang besar dan pengaruhnya yang tersebar luas. Empat Kerajaan tersebut
adalah Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di Wilayah Maluku bagian selatan,
dikenal juga kerajaan yang cukup besar pengaruhnya dan perkembangannya sejaman
dengan wilayah kerajaan Ternate, yakni Kerajaan Hitu, di bagian utara Pulau
Ambon. Perkembangan kerajaan-kerajaan tersebut seiring pula dengan laju gerak
niaga yang melibatkan para pedagang asing seperti pedagang Arab, Persia, China,
Jawa serta Sumatra. Berkembangnya gerak niaga, dipicu oleh kekayaan sumberdaya
alam yang dimiliki oleh wilayah kepulauan Maluku, yakni cengkeh dan pala yang
terkenal seantero jagad.
Persentuhan wilayah Maluku dengan budaya Islam dapat dijejaki adanya
bukti-bukti peninggalan budaya Islam pada awal persentuhannya hingga masa
berkembangnya sebagai agama resmi kerajaan. Di Wilayah Ternate, Tiodre, Bacan
dan Jailolo, bukti-bukti peninggalan kerajaan Islam seperti Majid Kuno, Alquran
kuno dan berbagai peninggalan lainnya membuktikan bahwa pengaruh budaya Islam
di wilayah itu sangat kuat. Dapat dikatakan wilayah Ternate, Tiodre, Jailolo
dan Bacan adalah wilayah-wilayah pusat peradaban Islam. Pada abad 15-16 Ternate, Tidore,
Bacan, Jailolo di Maluku Utara adalah wilayah-wilayah pusat Kerajaan Islam yang
pengaruhnya menyebar ke seluruh wilayah Kepulauan Maluku, bahkan hingga ke
sebelah barat dan timurnya. Di bagian selatan Maluku, Kerajaan Hitu di Pulau
Ambon dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam. Dari
wilayah pusat perdaban dan kekuasaan Islam inilah, kemudian dengan cepat
berkembang ke wilayah-wilayah lainnya, seiring laju perdagangan serta ekspansi
kekuasaan.
Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo,
dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di
wilayah inilah Islam pertama kali berkembang. Di wilayah Pulau Ambon, Kerajaan
Hitu juga dianggap sebagai pusat peradaban dan kekuasaan Islam yang sezaman
dengan Ternate. Jika kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif,
telah memberdayakan masyarakat nusantara untuk keluar dari paham-paham
primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan penting di
bidang sosial dan struktur politik, maka di wilayah Maluku, wilayah-wilayah
pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal, dapat dikatakan mewakili
anggapan itu. Pusat-pusat kekuasaan Islam Maluku telah berkembang menjadi
daerah kesultanan yang melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke ’wilayah-wilayah
seberang
ISLAM DI INDOENSIA
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar
20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam
perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata
sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun
674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat
Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu
para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka
membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Menelusuri Jejak Peradaban Islam di Nusa Apono
Nusa Apono (Pulau Ambon) yang memiliki
kebudayaan mestizo (ragam budaya) ternyata menyimpan peninggalan sejarah Islam
yang tak lekang dimakan zaman.
DI utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri (desa) Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, berdiri Masjid Tua Wapauwe yang berumur tujuh abad. Masjid yang dibangun tahun 1414 Masehi itu masih berdiri kokoh, menjadi bukti sejarah Islam masa lampau yang tak lapuk oleh hujan panas dan tak lekang dimakan usia.
Masih dalam bentuk aslinya, masjid tersebut berdiri di atas sebidang tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Berada di antara pemukiman penduduk Kaitetu dalam bentuk yang sangat sederhana. Masjid berdinding gaba-gaba (pelepah sagu kering) dan beratapkan daun rumbia ini masih digunakan, baik untuk shalat Jumat maupun shalat lima waktu, walaupun sudah ada masjid baru di desa itu.
Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter. Tipologi bangunan berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak mempunyai serambi.
Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lain, seperti konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.
Di masjid ini juga tersimpan Mushaf Alquran yang konon tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy, selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir).
Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya, selesai ditulis tahun 1590. Nur Cahya adalah cucu Imam Muhammad Arikulapessy dan mushaf karyanya juga tanpa iluminasi dan ditulis tangan pada kertas Eropa. Kedua Mushaf ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan 1995.
Selain Alquran, karya Nur Cahya lainnya adalah Kitab Barzanzi (syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW), sekumpulan naskah khotbah seperti Naskah Khotbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah (peninggalan), serta manuskrip islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
DI utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri (desa) Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, berdiri Masjid Tua Wapauwe yang berumur tujuh abad. Masjid yang dibangun tahun 1414 Masehi itu masih berdiri kokoh, menjadi bukti sejarah Islam masa lampau yang tak lapuk oleh hujan panas dan tak lekang dimakan usia.
Masih dalam bentuk aslinya, masjid tersebut berdiri di atas sebidang tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Berada di antara pemukiman penduduk Kaitetu dalam bentuk yang sangat sederhana. Masjid berdinding gaba-gaba (pelepah sagu kering) dan beratapkan daun rumbia ini masih digunakan, baik untuk shalat Jumat maupun shalat lima waktu, walaupun sudah ada masjid baru di desa itu.
Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter. Tipologi bangunan berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak mempunyai serambi.
Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lain, seperti konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.
Di masjid ini juga tersimpan Mushaf Alquran yang konon tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy, selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir).
Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya, selesai ditulis tahun 1590. Nur Cahya adalah cucu Imam Muhammad Arikulapessy dan mushaf karyanya juga tanpa iluminasi dan ditulis tangan pada kertas Eropa. Kedua Mushaf ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan 1995.
Selain Alquran, karya Nur Cahya lainnya adalah Kitab Barzanzi (syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW), sekumpulan naskah khotbah seperti Naskah Khotbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah (peninggalan), serta manuskrip islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
Sejarah penyebaran agama islam di Indonesia
Sejarah
masuknya Islam di Indonesia pada awalnya dibawa oleh para
pedagang dari Arab dan Gujarat. Sebelum masuknya agama apapun di Indonesia,
bangsa Indonesia pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme, yakni
kepercayaan terhadap roh-roh atau benda-benda yang memiliki kekuatan. Kemudian
masuk agama Hindu dan Budha yang dibawa oleh pedagang dari India dan
China. Ketika Islam masuk pun, penganut animisme dan dinamisme masih banyak,
bahkan hingga saat ini masih cukup sering ditemui. Namun masyarakat Indonesia
sejak jaman dahulu kala adalah masyarakat yang terkenal toleran, sehingga
keyakinan apapun dapat tumbuh disini.Sejarah masuknya Islam ke Indonesia dan kemudian berkembang pesat karena Indonesia adalah jalur perdagangan, terutama di Barus dan Pasai. Para pedagang arab singgah ke Indonesia untuk menawarkan barang dagangan berupa kain dan wewangian. Selain menjual, mereka juga membeli barang dagangan disini untuk dijual di negaranya. Mereka yang terlibat perdagangan saling menguntungkan sehingga mulai akrab. Hal ini yang kemudian memudahkan para pedagang Arab tersebut memperkenalkan agama Islam. Para penduduk di Pasai menerima dan menyambut ajakan untuk masuk Islam tanpa paksaan. Dari kedua wilayah tersebut, pada akhirnya Islam menyebar ke wilayah lain di Indonesia, seperti diantaranya:
Wilayah penyebaran islam indonesia
- Pariaman,
Sumatera Barat dimana pembawanya adalah Syekh Burhanuddin, seorang ulama
Melayu.
- Gresik
dan Tuban di Jawa Timur, pembawanya adalah Maulana Malik Ibrahim, seorang
pedagang dan mubalig dari Hadramaut.
- Demak,
Jawa Tengah, yang berperan dalam penyebarannya adalah Raden Patah
bersama Wali Songo sebagai penasihatnya.
- Banten
di Jawa Barat yang dipelopori oleh Fatahillah, seorang keturunan raja dari
Samudra Pasai yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati.
- Palembang,
Sumatera Selatan yang menyebarkan adalah Raden Rahmat, dimana dua bulan
kemudian ia menyebarkan Islam ke Ampel, Jawa Timur.
- Banjar,
Kalimantan Selatan dan Sukadana, Kalimantan Barat dipelopori oleh para
mubalig dari Johor, Malaysia.
- Makassar,
Sulawesi Selatan yang dibawa dan disebarkan oleh Datuk Ri Bandang dari
Sumatera Barat.
- Ternate,
Tidore, Jailole dan Bacau di Maluku Utara, diperkenalkan Islam oleh Syekh
Mansur asal Arab dan Maulana Husain asal Gresik.
ISLAM DI NUSANTARA
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan
dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab
yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya
adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi
ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun
setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan
terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum
Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena
berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para
penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka
pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan
dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan
ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah
terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat
Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang
mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad
ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus
mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk
kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat
Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu
daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan
pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur
pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511,
Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun
sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah
pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu
menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini
dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan
Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi
orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten,
Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari
serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah
membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain
membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren
(madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab
Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah
dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah
sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih
terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah
orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka
yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang
sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini
berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak
perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia),
Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga
perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang
Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar)
Mempertanyakan Sejarah Masuknya Islam di Indonesia (3)
REPUBLIKA.CO.ID, Tentang kapan persisnya Islam masuk ke
Indonesia, sebagian besar orientalis berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad ke-7 M dan ke-13 M.
Pendapat itu didasarkan pada dua asumsi. Pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke kepulauan Nusantara. Kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-13 M.
Menurut Alwi Shihab, asumsi kedua tak bisa diterima. Bagi dia, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat.
Kesimpulan itu didasarkan Alwi pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.
Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia.
Dari manuskrip Cina itu pula, terdapat informasi mengenai jalur penyebaran Islam di Indonesia. Disebutkan, masuknya Islam bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan langsung dari Arab yang dibawa oleh para pedagang Arab.
Pendapat itu didasarkan pada dua asumsi. Pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke kepulauan Nusantara. Kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-13 M.
Menurut Alwi Shihab, asumsi kedua tak bisa diterima. Bagi dia, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat.
Kesimpulan itu didasarkan Alwi pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.
Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia.
Dari manuskrip Cina itu pula, terdapat informasi mengenai jalur penyebaran Islam di Indonesia. Disebutkan, masuknya Islam bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan langsung dari Arab yang dibawa oleh para pedagang Arab.
Artefak Cirebon
Pendapat serupa juga dikemukakan guru besar Ilmu Sosiologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Abdullah Ali. Abdullah Ali menyebutkan, ada dua versi mengenai masa masuknya Islam ke Cirebon. Versi pertama menyebutkan Islam masuk ke Cirebon pada abad ke-13. Sedangkan versi kedua, Islam sebenarnya telah masuk ke Cirebon sejak abad ke-13.
Versi pertama, didasarkan pada sejarah berdirinya Kerajaan/Kesultanan Cirebon oleh Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, pada 1450 Masehi.
Sebelumnya, Kerajaan Cirebon dipimpin oleh Pangeran Walangsungsang atau yang bergelar Pangeran Cakrabuana. Dia adalah putra Prabu Siliwangi, yang memerintah di Kerajaan Pajajaran. Karenanya, di masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana, Kerajaan Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.
Pangeran Cakrabuana memiliki seorang putri yang bernama Nyi Mas Pakungwati. Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan putrinya itu dengan Sunan Gunung Jati, yang tak lain adalah putra dari adik kandungnya yang bernama Nyi Mas Rarasantang.
Karenanya, setelah Pangeran Cakrabuana wafat, Kerajaan Cirebon pun dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Saat itulah, Sang Sunan memproklamasikan diri terlepas dari Kerajaan Pajajaran yang diperintah oleh kakeknya pada 1450 Masehi. Peristiwa merdekanya Kerajaan Cirebon dari Kerajaan Pajajaran itulah yang kemudian dijadikan pertanda masuknya Islam ke Cirebon
Masjid Kyai Gede, Saksi Sejarah Islam di
Kalimantan Tengah
Menuanya
usia, lazim membuat bangunan rapuh dan tidak kokoh lagi, tidak begitu dengan
Masjid Kyai Gede yang terletak di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Meski
telah berdiri ratusan tahun, masjid yang dibangun menggunakan kayu ulin asli
Kalimantan ini masih bagus dan berfungsi dengan baik.
Masjid Kyai Gede merupakan saksi sejarah
islam di Kalimantan Tengah, sekaligus sebagai masjid yang tertua di provinsi
tersebut, karena dibangun pada tahun 1052 Hijriyah. Masjid ini banyak disebut
orang mirip dengan Masjid Demak, jika dilihat dari arsitektur dan karakter
bangunannya.
Konon, nama Kyai Gede sendiri adalah nama
seorang ulama asal Demak, yang diutus menyebarkan agama wilayah Kalimantan.
Jasanya yang begitu besar bagi perkembangan islam, membuat nama Kyai Gede
kemudian diabadikan pada masjid tersebut.
Kabupaten Kotawaringin Barat, berjarak
sekitar 61 kilometer dari Pangkalan Bun. Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1992,
masjid ini telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Sifat kayu
ulin yang tahan terhadap perubahan cuaca menjadikan Masjid Kyai Gede masih
bertahan diterpa peralihan zaman, uniknya lagi, masjid ini tidak dibangun
menggunakan paku, melainkan menggunakan sistem lego.
Kotawaringin Barat, sebagai kota yang
penduduknya mayoritas beragama islam, Masjid Kyai Gede adalah suatu kebanggaan
masyarakat setempat. Kontribusi masyarakat dalam merawat masjid tersebut
merupakan faktor utama terlestarikannya bangunan bersejarah ini. Saat ini,
Masjid Kyai Gede tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga
sebagai pusat kegiatan - kegiatan sosial masyarakat, sebagaimana Kyai Gede dan
para pengikutnya memfungsikan masjid ini di masa lalu. (Laras)
No comments:
Post a Comment