Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Business

Wednesday, 9 May 2018

Bank dan Transformasi Syari'ah

  kangato       Wednesday, 9 May 2018
BANK DAN TRANSFORMASI SYARI’AH
1.  Pengertian Bank dan Transformasi
Kata bank dapat ditelusuri dari kata "bangue" dalam bahasa Prancis, dan dari kata "banco" dalam bahasa Italia, yang berarti peti atau lemari atau bangku. Konotasi  kedua ini menjelaskan dua fungsi dasar yang ditunjukkan oleh bank komersial. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, peti berlian, peti uang, yang menghasilkan port folio of earning assets, yaitu porfotolio yang memberi bank "darah kehidupan" bernama laba bersih setelah pengeluaran-pengeluaran dari pajak.
Pada abad ke-12 kata "banco" di Italia merujuk pada meja, counter atau tempat usaha penukaran uang (money changer) arti ini menyiratkan fungsi transaksi bisnis yang lebih luas yaitu: "membayar barang dan jasa". Contoh transaksi semacam itu di zaman modern ini terjadi di beberapa tempat seperti counter di pasar swalayan atau counter di restoran siap saji (Fast-Food).
Jadi kesimpulannya fungsi dasar bank adalah: a) menyediakan tempat untuk  menitipkan  uang  dengan  aman  (safe keeping function) dan;  b) menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (Transaction function).36  Transformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefenisikan:  Perubahan rupa,  bentuk, sifat  dan  sebagainya.  Sedangkan Transformation (Transformasi):(Psiko Analisis) diartikan: "Suatu perubahan dalam perasaan atau impuls sedemikian rupa, sehingga bisa menyembunyikan atau menyamarkan semuanya, dengan maksud untuk mendapatkan hak masuk atau perizinan ke dalam kesadaran”
Sedangkan menurut Soedjito Sosrodiharjo dalam tulisannya, “Agama, Demokrasi  dan  Transformasi  Sosial”, 39  dinyatakan  bahwa,  apabila transformasi  dikaitkan dengan konteks sosial, maka berarti menunjuk pada proses perubahan masyarakat. Dalam pada itu lebih lanjut beliau menjelaskan  bahwa, perubahan  sosial hanya dapat berjalan, jika ada perubahan  juga dalam  kebudayaan. Perubahan  kebudayaan ini akan mempermudah transformasi misalnya menuju masyarakat industri.
2. Transformasi sistem perbankan dari berbasis bunga kepada profit and loss sharing
Bank syari’ah atau bank Islam, merupakan wujud nyata transformasi sistem perbankan yaitu dari berbasis bunga kepada sistem yang berbasis bagi hasil atau lebih dikenal dengan profit and loss sharing system.
Bank-bank  Islam  telah  mentransformasi  sistem  dan  prosedur perbankan yang ada. Jika terjadi pertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka bank-bank Islam merencanakan dan menerapkan prosedur mereka sendiri guna menyesuaikan aktivitas perbankan mereka dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Untuk itu dewan pengawas syariah (DPS) berfungsi memberikan Advis kepada perbankan Islam guna memastikan bahwa bank Islam tidak terlibat dalam unsur-unsur yang tidak disetujui oleh Islam.
Jika yang dimaksud dengan "Bank" adalah istilah bagi satu lembaga keuangan, maka istilah "Bank" tidak disebutkan secara explisit dalam al- Quran. Tetapi jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur- unsur seperti struktur, manajemen,  fungsi, hak dan kewajiban, maka semua  itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, shadaqoh, ghanîmah (rampasan   perang),  bai'  (jual  beli),  dayn (hutang),   mâl  (harta)  dan sebagainya yang memiliki konotasi fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi. Lembaga-lembaga itu pada akhirnya bertindak sebagai individu yang dalam konteks fiqih disebut Syakhsiyyah - I'tibâriyah atau Syakhshiyyah -Ma'nâwiyah.
3. Sejarah transformasi sistem perbankan
Sejarah berkembangnya bank yang telah mentransformasi  sistem operasionalnya dengan sistem berlandaskan syariah di Indonesia, dimulai dengan berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam  dan berpengaruh  ke Indonesia. 
Sekalipun Indonesia bukan negara Islam yaitu negara yang berdasarkan  hukum syariah Islam, tetapi Indonesia adalah negara yang mayoritas Islam. Sebagai negara Muslim kebutuhan bagi para penduduk Indonesia yang miskin akan adanya suatu bank yang berdasarkan prinsip syariah, suatu barang tentu sangat diperlukan. Gagasan  untuk mendirikan  bank syariah, sebagai istilah pengganti bank Islam istilah yang dihindari karena berkonotasi ideologis. Sebenarnya  telah muncul  sejak pertengahan  70-an.  Ini  dibicarakan, misalnya pada seminar hubungan Indonesia Timur Tengah pada tahun pada tahun 1974 (seminar nasional) dan 1976 (Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh lembaga Studi Ilmu-ilmu  Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa alasan yang menghambat realisasi ide tersebut.  Pertama, karena operasi syariah menerapkan  prinsip bagi hasil (profit and  loss sharing)  itu belum diatur, karena  itu  tidak  sejalan dengan  Undang-Undang  Pokok  Perbankan No.14/1967 yang  berlaku.  Kedua, konsep  bank  Islam  waktu  itu, terjemahan Islamic Bank dari segi politik berkonotasi ideologis, yang merupakan bagian dari konsep negara Islam dan itu tidak dikehendaki pemerintah.  Ketiga, masih  dipertanyakan  siapakah  yang  bersedia menaruh  modal  dalam ventura semacam  itu. Sementara  pendirian bank baru dari Timur Tengah konon masih dicegah, antara lain karena pembatasan bank Asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.
Pada awal periode 80-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut antara lain Karnaen Perwataatmaja, M. Dawam Raharjo. A. M. Saifuddin, M. Amin Aziz, dan lain-lain. Cita-cita ummat  Islam  Indonesia untuk mendirikan bank syariah mulai terwujud dengan adanya ide pendirian bank tanpa bunga yang digulirkan kembali dalam lokakarya, "Bunga Bank dan Sistem Perbankan" yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan  Majlis Ulama  Indonesia (MUI) di Cisarua Bogor, 19-22 Agustus 1990,44  lokakarya ini diikuti oleh para banker, Ahli Hukum Islam dan pejabat Moneter Indonesia.45 Forum berhasil menyepakati untuk mendirikan bank bebas bunga yang sejalan dengan syariat Islam. Sekalipun status hukum bunga bank masih mengambang dalam lokakarya tersebut.
Rekomendasi sebagai hasil lokakarya, ditindaklanjuti oleh musyawarah Nasional MUI ke-IV  di hotel Sahid Jaya Jakarta 22-23 Agustus  1990,  dengan menugaskan Dewan  Pimpinan  MUI untuk membentuk kelompok Kerja (Tim Perbankan) yang ditugasi memprakarsai pendirian bank berdasarkan syariah Islam. Tim tersebut berhasil mengidentifikasi dua ancaman  yang mungkin  timbul  dalam mewujudkan berdirinya bank syariah tersebut.
Pertama,  operasionalisasi bank syariah dikaitkan dengan fanatisme agama, akan ada pihak-pihak yang  menghalangi berdirinya bank syariah semata-mata karena tidak suka akan kebangkitan umat Islam dari keterbelakangan ekonominya. Isu eklusifisme atau SARA yang mungkin dilontarkan untuk mencegah berkembangnya bank Islam di Indonesia secara luas. Kedua, ancaman dari mereka yang terusik kenikmatannya merebut kekayaan rakyat yang sebagian besar beragama Islam melalui sistem perbankan yang ada.
Munculnya bank Islam menuntut pemerataan yang lebih adil akan dirasakan  sebagai ancaman  terhadap  status  quo  yang menikmatinya selama puluhan tahun. Mereka akan menghambatnya dengan cara membenturkan  pada perangkat perundang-undangan. Perbankan yang ada pada saat itu memang boleh disebut tidak memberi ruang beroperasinya bank tanpa bunga sesuai dengan syariah Islam. Undang- undang  pokok  perbankan  No.14/1967 memang  tidak mengizinkan beroperasinya bank tanpa bunga kredit.
Kehawatiran ancaman tersebut ternyata tidak sepenuhnya terbukti, mengenai  kendala  UU No. 14/1976. Sedikit  bisa  teratasi  setelah keluarnya deregulasi perbankan tahun 1983 yang salah satu bunganya sendiri  hingga  0 %,  bahkan  peniadaan bunga  sekaligus. Deregulasi tersebut baru dapat dimanfaatkan setelah keluarnya paket oktober (PAKTO) 1988 yang memberikan kesempatan untuk mendirikan bank- bank baru, yang implikasinya memperbesar peluang kehadiran bank-bank berdasarkan syariah.
Pada tanggal 27 Agustus 1991, tim pendiri bank Islam mengadakan pertemuan dengan presiden Soeharto yang disambut dengan antusias. Kepala Negara langsung bersedia dicantumkan sebagai pemrakarsa bank Islam sekaligus memberikan dana 3 milyar dari kas Yayasan Amal bakti Muslim  pancasila, tapi tanpa bunga dan tanpa batas waktu pinjaman. Dalam pertemuan tersebut presiden RI H.M. Soeharto menyarankan agar bank Islam yang akan didirikan itu diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Sebagai hasil kerja tersebut, maka lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Penandatanganan akta pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia (MUI) di hadapan akte notaris tanggal 1 November 1991. Dalam acara penandatanganan itu dilakukan penjualan saham yang akhirnya terkumpul modal awal sebesar 10 milyar rupiah.50 Angka tersebut tercatat sebagai modal terbesar dalam sejarah perbankan setelah dikeluarkannya PAKTO 88,  Sukamdani  Sahid  Gitosardjono,  seorang  pengusaha  perhotelan  berkata," Pengumpulan dana Bank Muamalat  Indonesia adalah salah satu rekor pengumpulan modal bank tercepat." Meskipun perkembangan agak terlambat jika dibandingkan Negara-negara Muslim lainnya, perbankan Syariah di Indonesia, maka pada tahun 1999 bertambah tiga unit. Pada tahun 2000, bank syariah maupun bank konvensional yang membuka unit usaha syariah meningkat menjadi 6 unit. Sedangkan jumlah BPRS (Bank perkreditan Rakyat Syariah) telah mencapai 86 unit dan masih akan bertambah. Di tahun mendatang, jumlah bank syariah ini akan terus meningkat seiring dengan masuknya pemain-pemain baru bertambahnya jumlah  kantor cabang bank syariah yang telah ada maupun  dengan dibukanya Islamic Window di Bank-bank konvensional. Perkembangan  perbankan syariah ini tentunya juga harus didukung  oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun  realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat di institut syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikasi mempengaruhi produktifitas dan profesionalisme perbankan Syariah itu sendiri. Dan inilah memang yang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yaitu mencetak sumber daya insani yang mampu mengamalkan ekonomi Syariah di semua ini, sebab sistem yang baik tidak mungkin dapat berjalan jika tidak didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.
Di samping itu pula dukungan dan kepercayaan kaum muslimin seperti terlihat dari begitu banyaknya dana yang terkumpul, di satu sisi merupakan perkembangan yang menggembirakan. Namun  di sisi lain menjadi beban moral yang berat bagi para pengelola Bank Muamalat Indonesia. Kehadiran bank Islam itu  juga berarti taruhan politis ummat Islam, jika pengolahan bank Islam itu kemudian mengecewakan atau gagal, akan sulit menanamkan kepersayaan pada masa berikutnya.
Status hukum bank Islam mendapat legitimasi yang kokoh setelah dikeluarkannya UU. No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Bagi Bank Muamalah  Indonesia, status hukum  itu memperkuat legitimasi Bank Muamalah Indonesia yang mulai beroprasi pada tanggal 1 Mei 1992. Pada awal pendiriannya, keberadaan bank Syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional.
Pada  awalnya, landasan  hukum  operasi  bank  syariah  ini  hanya dikatagorikan  sebagai bank  dengan  sistem  bagi hasil  tidak  terdapat landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU. No.7 tahun 1992 di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka.
Seiring dengan berputar waktu, perkembangan perbankan syariah mulai mengalami pertumbuhan  pesat pada era reformasi yang ditandai dengan perubahan UU. No. 7 1992 menjadi UU. No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum  serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang  itu juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang bank Syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut disebut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan  perhatian dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank menjajaki pembukaan divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lagi berencana mengkonversi diri menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia (BI) dengan mengadakan pelatihan perbankan Syariah bagi para pejabat BI.

4. Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah
Bank syariah adalah bukan lembaga sosial. Akan tetapi bank syariah adalah bank yang bertujuan komersial yang sekaligus menerapkan ajaran Islam  yang operasionalnya sungguh  memperhatikan  restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam.  Secara garis besar prinsip-prinsip perbankan syariah adalah :
a.         al-Ta'âwun, yaitu prinsip  saling membantu  dan bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan
b.  Menghindari  al-Iktinaz, yaitu prinsip menahan uang atau dana membiarkannya  menganggur  (idle) dan   tidak  berputar   dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
c.  Larangan riba, yaitu prinsip yang melarang pembayaran  bunga.
Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga telah dilarang sejak zaman Yunani kuno. Sebelum itupun Aristoteles dan Plato juga sangat menentang pengenaan bunga. Mereka berpikir bahwa cara itu berarti menentang ajaran kesejahteraan sosial dari negara.55 Menurut mereka cara itu tidak adil dan seperti mencari keuntungan yang tidak alami dari misi yang tidak bernilai.
Perbedaan mendasar antara bank syariah dan bank konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi konvensional, dan menghalalkan jual beli.
Sejak awal dasawarsa 1970-an, umat Islam diberbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank Islam. Tujuannya adalah mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip syari’ah Islam  dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan  serta bisnis lain yang terkait . Prinsip  utama  yang dianut oleh Bank Islam adalah :
1)  Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi.
2)  Menjalankan  bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang sah menurut syari’ah
3)  Memberikan zakat.
5. Sistem Operasional Usaha Bank Syariah
Ada 4 perbedaan mendasar  antara bank konvensional dan bank syariah. Pertama, dari segi akad dan legalitas. Akad yang dilakukan bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Kedua, mengenai struktur organisasi. Bank syariah dapat memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank- bank konvensional  tetapi unsur yang membedakan  adalah keharusan adanya Dewan  Pengawas  Syariah  (DPS) yang  bertugas  mengawasi operasionalisasi bank dan produk-produk agar sesuai dengan garis syariah. Ketiga, mengenai   bisnis dan usaha yang dibiayai. Pada bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah  (syari’ah complience). Keempat,  mengenai lingkungan kerja dan corporate culture, Sifat amanah, siddiq tabligh, dan fathânah harus melandasi kinerja setiap karyawan sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan Islam, dan dalam hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah. Dari kenyataan tersebut terlihat bahwa prinsip syariah menjadi aturan dasar yang membentuk pola dan mengatur hubungan bank syariah baik internal (pengaturan manajemen usaha) maupun eksternal (pengaturan hubungan dengan nasabah).
6. Prinsip-prinsip akad/transaksi dalam bank syariah
Berkaitan dengan pengaturan hubungan dengan nasabah terdapat 5 prinsip dasar bank syari’ah dalam melakukan transaksi yaitu a. prinsip titipan atau simpanan (depository), b. prinsip bagi hasil (profit and loss sharing), c. prinsip sewa (operasional lease and  financial lease), d. prinsip jual beli (sale and purchase) dan e. prinsip jasa (fee based services).
a)  Prinsip titipan atau simpanan
Prinsip ini dikenal juga dengan prinsip al-wadi'ah. Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
b) Prinsip bagi hasil (Profit and loss Sharing)
Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan 4 akad utama yaitu musyarokah, mudharobah, muzaro'ah dan  musaqoh. Akan  tetapi, prinsip yang paling banyak dipakai adalah  al-musyarakah dan al-mudharabah. Dalam musyarakah masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau mâl (expertise) dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.59  Pada perbankan syari’ah biasanya prinsip ini dipraktekkan dalam pembiayaan proyek maupun  modal  ventura. Dalam  mudharobah,  pihak pertama (shâhibu  al-mâl)  menyediakan keseluruhan (100%)  modal dan pihak  lainnya sebagai pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan  kontrak  (nisbah), sedangkan  kerugian  akan ditanggung pemilik modal selama kerugian bukan akibat kelalaian pengelola. Perbankan  dapat menerapkan hal ini pada tabungan berjangka untuk tujuan khusus seperti tabungan haji, kurban, untuk  deposito  biasa, juga  untuk  pembiayaan  modal  kerja. Selanjutnya al-muzaroa'ah  adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap untuk  diatanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dimana benih tanaman berasal dari pemilik lahan. Sebaliknya al- musâqah adalah  bentuk  sederhana  dari  al-muzâro'ah, dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalannya, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
c)  Jual Beli (Sale and Purchase)

Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama fikih muamalah  Islamiyah  terbilang sangat banyak. Jumlahnya  bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian  banyak  itu,  ada  3 jenis  jual  beli  yang  telah  banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja  dan  investasi  dalam  perbankan  syariah,  yaitu  bai' al- murabahah, bai' al-salam, dan bai' al-istisna'.
d)  Prinsip sewa/al-Ijarah (Operational lease and Financial lease)

Al-ijâroh adalah   merupakan  akad pemindahan  hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.
e)  Prinsip jasa (Fee -Based Services)
Dalam perbankan syariah prinsip jasa ini meliputi 5 ( lima) bentuk transaksi  yaitu berupa  al-wakalah. Pertama Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai al-tafwidh.61  Dalam perbankan aplikasinya dapat berwujud seperti auto debet pembayaran rekening listrik, telepon dan lainnya.  Kedua adalah al-kafâlah. Al-kafâlah adalah   jaminan yang diberikan oleh penanggung  (kâfil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti  menjadikan  seorang  (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pembayaran hutang.  Ketiga adalah  al-hawâlah. Al-hawâlah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang  kepada orang lain yang wajib menanggungnya.  Dalam akad hawâlah terdapat  tiga pihak, yaitu pihak  yang berhutang  (muhil), pihak  yang memberi hutang  (muhal), dan pihak yang menerima  pemindahan  hutang (muhal ‘alaih).   Keempat adalah al-Rahn. Al-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang ditahan bernilai ekonomis. Secara  sederhana rahn adalah semacam  jaminan  hutang, atau gadai.64  Yang ke lima adalah al-qordh. Al-qordh adalah meminjamkan  tanpa mengharapkan  imbalan  atau akad saling membantu  dan  bukan  transaksi komersial,65   yang umumnya diberikan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya atau kepada nasabah yang betul-betul membutuhkan dan berhak.
7. Aplikasi Prinsip Islam dalam Perbankan Syari'ah

Untuk  mendapatkan  persepsi  yang  jelas tentang  aplikasi prinsip syari'ah dalam perbankan Islam, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Penghimpunan  Dana/Deposit Bank Syari’ah66

No.
Produk/jasa
Prinsip syariah
1.
Giro
Wadi'ah yad dhamanah
2.
Tabungan
Wadi'ah Yad Dhamanah/Mudharobah
3.
Deposito
Mudharobah
4.
Simpanan khusus
Mudharobah Muqayyadah


Pembiayaan dan Jasa Bank Syari’ah

No.
Produk/Jasa
Prinsip syariah
1.
Pinjaman
Qardh
2.
Penyertaan
Musyarokah
3.
Sewa beli
Ijarah wa iqtina/muntahiya bi al-tamlik
4.
Pembiayaan modal kerja
Mudhrobah, Musyarokah, Murobahah
5.
Pembiayaan proyek
Mudharobah, Musyarokah
6.
Pembiayaan sektor pertanian
Bai'Al- salam
7.
Pembiyaan untuk akuisi asset
Ijarah muntahiya bit tamlik
8.
Pembiyaan ekspor
Mudharobah, Musyarokah, Murobahah
9.
Anjak piutang
Hiwalah
10.
Letter of Credit
Wakalah
11.
Garansi bank
Kafalah
12.
Inkaso/Transfer
Wakalah/ Hawalah
13.
Pinjaman sosial
Qardhul hasan
14.
Surat berharga
Mudharobah, qard
15.
Safe deposito box
Wadi'ah Amanah
16.
Jual beli Valas
Sharf
17.
Gadai/Agunan
Rahn
Sumber : Petunjuk Pelaksanaan Kantor Bank Syari’ah, Bank Indonesia

8. Uraian Tentang Prinsip-Prinsip Syariah Dalam Bank Syariah
Berikut  ini uraian  tentang  produk-produk  perbankan  Islam  dan landasan operasionalnya. Secara garis besar, produk perbankan syari'ah dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a. Produk Penghimpunan Dana (funding)
Penghimpunan dana bank syari’ah dapat diperoleh dari tiga sumber,  yaitu:  modal,  titipan  (wadi’ah), Investasi Mudharabah (trust financing, trustinvesment).
1)  Modal, maksud modal disini adalah dana modal sendiri, yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut. Pemilik modal akan mendapat  bagian dari hasil usahanya (dividen).  Dalam perbankan syari’ah mekanisme penyertaan modal pemegang saham  dapat  dilakukan  melalui  musyarakah fi sahm asy-Syarikah (equity participation) pada saham perseroan bank
2) Wadi'ah (depository), yaitu fasilitas yang diberikan oleh bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya yang harus dijaga oleh pihak bank dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Dengan kata lain adalah akad yang terjadi antara dua pihak, dimana pihak pertama menitipkan suatu barang kepada pihak kedua. Secara umum Wadi'ah terdiri dari 2 (dua) jenis:
a)  Wadi'ah  Yad  al-Amanah (trustree depository), penerimaan titipan (Wadi'ah/costudian) adalah penerima  kepercayaan (trustree).  Ia  tidak  diharuskan  mengganti  segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan. Penerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan  biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
b)  Wadiah Yad al-Dhamanah (guarantee depository), adalah akad titipan,  dimana  mustawda’/custodian adalah  trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan asset yang dititipkan, penerima titipan bertanggungjawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Penerima titipan   boleh menggunakan dan memanfaatkan  uang atau barang yang dititipkan.
Sebagai konsekwensi dari yad al-dhamanah, semua keuntungan  yang dihasilkan dari dana titipan  tersebut menjadi milik bank demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian. Tetapi custodian dalam hal ini pihak bank  diperbolehkan  memberikan  bonus kepada pemilik harta  atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.
Dasar hukum wadi'ah yad al- Amânah adalah: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya …"(QS. al-Nisa' 4: 58). Madlul dari ayat di atas adalah   Allah  memerintahkan kepada kita untuk menjaga dan melaksanakan amanah yang dipercayakan kepada kita. Wadi’ah merupakan salah satu bentuk amanah dari pihak ketiga (nasabah) kepada Bank syari’ah. Pihak bank wajib menjaga amanah itu, dengan imbalan pihak bank diperbolehkan untuk mengambil  biaya dari barang  yang diamanahkan  oleh nasabah kepada bank. "Dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a katanya: Nabi SAW. Pernah  mengirimkan  pakaian sutra campuran kepada Umar r.a kemudian Beliau melihat pakaian itu dipakai Umar.  Sabda Beliau: "Sesungguhnya aku kirimkan pakaian itu kepadamu  bukan  untuk  kau  pakai, yang  akan memakainya adalah orang yang tidak beruntung. kukirimkan kepadamu supaya engkau dapat mengambil  manfaat  dari padanya. Yakni supaya kamu jual."(HR. Bukhari).
Aplikasi wadi'ah dalam  perbankan  adalah  pada giro  (current account). Deposito atau tabungan berjangka (saving account). Giro  termasuk dalam wadi'ah  yad  al-Dhamânah,  sedangkan Wadiah Yad al-Amânah adalah titipan murni (deposit box).
3) Investasi  Mudhârabah (trust financing, trustinvesment), yaitu akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (Shâhib al-mâl) menyediakan  seluruh modal dan pihak lainnya menjadi  pengelola  (mudhârib). Keuntungan  dibagi  bersama berdasarkan kesepakatan awal dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Mudhârabah terbagi 2 dua:
a)  Mudhârabah   al-Muthlaqah,   (general  investment),  transaksi dimana  Shâhib al-mâl memberikan   keleluasaan  penuh kepada mudhârib untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
b)  Mudhârabah al-Muqayyadah, (restricted invesment), dalam hal ini mudharib dibatasi  dengan  batasan  jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Dasar hukum Mudhârabah adalah: "…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…" (al-Muzammil/ 20: 73)
"Dari  Abu  Qatadah r.a katanya : Kami  pergi beserta Rasulullah Saw dalam tahun (peperangan) Hunain. Ketika itu Nabi SAW memberikan baju besinya kepadaku. Baju  besi itu lalu kujual dan kubelikan sebidang kebun dari Bani Salamah. Kebun itulah harta yang pertama-tama saya kumpulkan  sebagai modal  dalam  Islam". (HR. Bukhari)
Aplikasi dalam perbankan adalah, dalam mudharabah muthlaqoh berbentuk tabungan berjangka seperti, tabungan haji atau tabungan kurban, sehingga bank dapat menyalurkan pada proyek usaha bank. Sedang mudharabah muqayyah,  dalam  terminologi  perbankan  Syari'ah lazim disebut special invesment, yaitu proyek yang dibiayai langsung oleh nasabah. Bank hanya bertindak sebagai wakil yang mengatur administrasi proyek itu.
b. Produk penyaluran dana atau pembiayaan
Sesuai dengan ragam dan jenis usaha yang digeluti nasabah, bank syari'ah  sebagai  lembaga  pembiayaan   berusaha  memenuhi kebutuhan finansial nasabahnya. Karena itu bank syari'ah juga menyediakan produk-produk yang mampu memenuhi kebutuhan itu. Beberapa produk yang terkait adalah:
1)  Jual  Beli  (Sale  and  Purchase),  mekanisme  kerja produk  ini adalah, bank  akan membeli  terlebih  dahulu barang  yang dibutuhkan, atau mengangkat nasabah sebagai agen bank atau kuasa bank untuk membeli barang tersebut. Nasabah sebagai agen atau kuasa melakukan  pembelian  barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepadanya dengan harga sesuai dengan harga beli ditambah keuntungan (margin).77 Ada tiga macam jual beli yang tersedia:
a)  Bai murabahah (deffered payment sale), adalah jual beli barang pada  harga  asal dengan  tambahan  keuntungan  yang disepakati. Dasar hukumnya adalah : "Allah   telah   menghalalkan  jual   beli   dan mengharamkan riba…"(Q.S al-Baqarah 2: 275).
Aplikasinya dalam perbankan dalam bentuk pembiayaan untuk pembelian barang-barang inventori, baik produksi maupun konsumsi. Bank sebagai penjual, nasabah sebagai pembeli. Keuntungan dan harga pokok disepakati diawal.
b)  Bai’ al-Salam (in front payment sale), yaitu pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka. Dasar hukumnya adalah:  "Hai  orang-orang ynag beriman, apabila kamu bermualah   secara   tunai   untuk   waktu   yang ditentukan,  hendaklah  kamu  menuliskannya…" (Q.S. al-Baqarah 2: 282).
"Dari  Ibnu Abbas   r.a  Rasulullah  datang  ke Madinah  sementara mereka   sedang melakukan salaf (salam) dengan kurma selama dua sampai tiga tahun  maka Rasulullah  bersabda: "Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang diketahui".(HR. Bukhari)
Aplikasinya dalam perbankan adalah untuk membiayai konstruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek. Bank  sebagai pemesan  (pembeli)  dan  nasabah  sebagai penjual  (pembuat). Ketika barang akan atau sudah selesai bank boleh menjualnya secara rinci kepada nasabah lain.
c)  Bai' al- istishna'
Bai'  al-istishna' adalah  akad  jual  beli antara  pemesan/ pembeli (Mustashni')  dengan   produsen/penjual  (shôni') dimana barang yang akan diperjual belikan harus dibuat lebih dahulu  dengan  kriteria yang jelas. Istishna' hampir sama dengan bai' as-Salam. Bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya.  Pada salam pembayarannya harus di muka dan segera, sedang istishna' pembayarannya boleh di  awal, di tengah  atau  di  akhir,  baik  sekaligus atau bertahap.
2)  Bagi Hasil (profit and loss Sharing)
a) Mudharabah (trustee profit sharing), selain  sebagai  produk penghimpunan dan, mudharabah juga termasuk  ke dalam produk pembiyaan kepada nasabah dengan sistem bagi hasil untuk proyek-proyek jangka pendek maupun jangka panjang. Aplikasinya dalam perbankan bisa dilakanakan dalam investasi lainnya.
b)  Musyarakah (joint venture profit sharing),  adalah antara dua pemilik modal untuk menyatukan modalnya pada usaha tertentu. Keuntungan ataupun kerugian ditanggung sesuai dengan kesepakatan awal. Bentuk aplikasinya adalah pada pembiayaan proyek yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh bank,   selebihnya   ditanggung   oleh   nasabah.   Yang mendasari transaksi  musyarakah adalah :  "Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, orang Anshor berkata kepada Nabi  SAW :  "Bagilah pohon-pohon   kurma   itu  diantara  kami  dan saudara-saudara  kami  orang  Muhajirin", Beliau bersabda : "Tidak ". Lalu orang Anshor berkata kepada orang Muhajirin:  "Bayarlah kepada kami biaya pemeliharaannya  dan  buahnya  kita bagi". Orang Muhajirin berkata: "Baiklah kami setuju". (HR. al-Bukhari)
3)  Al-Ijaroh (operational  lease and  Financial lease), yaitu akad sewa menyewa  barang  antara  dua  pihak  tanpa  diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut. Model  lain dari transaksi ijaroh ini, adalah sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan. Ia disebut dengan Iqtina' al Ijaroh wa al- Iqtina' atau al Ijaroh Muntahia bi al-Tamlik   (financial lease with purchase option). Dasar hukum Ijaroh adalah : "Dan  jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang  lain, maka  tidak  akan ada dosa  bagimu apabila kamu memberikan  pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat  apa yang kamu kerjakan".(QS. Al- Baqarah/2:233) "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda, "Berbekamlah kamu kemudian berikan olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari)
Aplikasi prinsip diatas adalah digunakan untuk akad sewa yang terjadi antara bank (pemilik barang) dengan nasabah (penyewa). Untuk finansial lease cicilan sewa sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
4)  Produk jasa
a)  Qard al-Hasan (soft and benevolent loan)
Produk ini adalah berupa pemberian harta kepada orang lain   dengan   meminjamkannya   tanpa   mengharapkan imbalan. Landasan syari'ah produk ini adalah sebagai berikut: "Barang siapa yang meminjamkan  kepada Allah pinjaman  yang  baik, maka  Allah  akan  melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh yang banyak".(QS. Al- Hadid/57:11)
"Ibn Mas'ud  meriwayatkan bahwa Nabi  SAW bersabda: Bukan seorang muslim  (mereka) yang meminjamkan  kepada muslim  lainnya dua  kali kecuali yang satunya adalah senilai sedekah". (HR. Ibn Majah) .
Perbankan Syari'ah menerapkan prinsip ini dalam bentuk produk pelengkap atau fasilitas tambahan bagi nasabah yang memerlukan dana mendesak untuk membiayai usahanya.
b)  Wakalah, adalah perwakilan antara  dua pihak pertama mewakilkan  sebuah urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Dasar  hukumnya adalah sebagai berikut: "Jadilah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengalaman". (QS.Yusuf 12: 55)
"Dari Sahal bin Sa'ad r.a Dia bercerita : "seorang wanita datang kepada Rasulullah lalu berkata: "Ya Rasulullah aku menyerahkan diriku kepada anda". Maka  berkata seorang laki-laki, kawinkanlah aku dengannya. Sabda beliau, kami kawinkan engkau dengan dia dengan mahar al-Quran yang telah kau pelajari" (HR. Bukhari)
Aplikasinya  dalam  perbankan  adalah pengiriman  uang atau  transfer,  penagihan  (collection/inkasso), letter of  credit (L/C).  Sebagai  imbalan,  bank  mengenakan  fee   atau 'umulah atas jasanya terhadap nasabah.
c)  Kafalah (guarantee), merupakan akad jaminan satu pihak ke pihak  yang lain dengan  mengalihkan  tanggung  jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang kepada tanggung  jawab orang  lain sebagai penjamin.  Sumber hukum produk ini adalah: "Telah dihadapkan kepada Rasulullah mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan…Rasulullah  bertanya : "Apakah mempuyai warisan?". Para sahabat menjawab, "Tidak". Rasulullah bertanya lagi, "Apakah dia  mempunyai  hutang?". Sahabat menjawab. "Ya, sejumlah tiga dinar." Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkan, tetapi beliau sendiri tidak. Abu Qatadah lalu berkata, "Saya menjamin hutangnya ya Rasulullah." Maka Rasulullah menshalatkannya". (HR. Bukhari)
Aplikasi kafalah dalam perbankan adalah; untuk membuat garansi    suatu  proyek  (performance bonds);  berpartisipasi dalam tender (tender bonds); membuat garansi atas pembayaran hutang (payment bonds); dan untuk membuat garansi penawaran (bid bonds).
d)  Hawalah (transfer service), yaitu pengalihan hutang dari orang yang berhutang pada orang lain yang wajib menanggungnya. Dasar  hukum  praktik ini dibolehkan berdasarkan sunnah dan ijma'. "Menunda pembayaran  bagi orang  yang  mampu adalah suatu kedzaliman dan jika salah seorang kamu diikutkan   (di-hawalah-kan)  kepada   orang   yang mampu      atau     kaya     "terimalah      hawalah itu".(HR.Bukhari)
Dasar  ijma' ditunjukkan oleh kesepakatan ulama' yang membolehkan hawalah pada hutang  yang tidak berbentuk barang atau benda. Karena hawalah adalah  perpindahan hutang. Oleh karena itu harus berbentuk uang atau kewajiban financial.
Penerapannya  dalam  perbankan  adalah, pada  produk factoring (anjak piutang) berupa akad yang terjadi antara nasabah yang memiliki piutang kepada pihak yang ketiga memindahkan   piutang  itu  kepada  bank,  bank  lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga. Sementara  pada post  date check  – bentuk turunan  hawalah – bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
e)  Rahn (mortgage) berarti menahan salah satu hata milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya (semacam jaminan hutang atau gadai). Dasar hukumnya adalah:
"Jika kamu  dalam  perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang di pegang (oleh yang berpiutang)…". (QS. al-Baqarah/2: 283)
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari; "Akbarana  Umar   bin  Muhammad  al-Hamdani, haddatsana Basyar bin Mu'adz al-Aqdiy, haddatsana Abdul Wahid bin Ziyad haddatsana al-A'masy berkata, Ibrahim menyebutkan al-Rahn (gadai) dalam masa gencatan senjata seraya berkata, akhbarani al- Aswad dari Aisyah r.a bahwasannya Rasullah membeli makanan dari Zufar (seorang Yahudi) dan memberikan  jaminan  kepadanya baju besi". (HR. Ibnu Hibban).
Perbankan menerapkan produk ini sebagai fasilitas tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan  jaminan tambahan. Bentuk lainnya juga, ia merupakan produk tersendiri melayani kebutuhan nasabah yang sifatnya jasa dan konsumtif seperti, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
logoblog

Thanks for reading Bank dan Transformasi Syari'ah

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment

Contoh Soal PLH Kelas VIII

SOAL PLH KELAS VIII PENGHIJAUAN LINGKUNGAN Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar, dengan memberikan tanda silang (X) pad...

close