BANK DAN
TRANSFORMASI SYARI’AH
1. Pengertian Bank dan Transformasi
Kata bank dapat ditelusuri
dari kata "bangue" dalam
bahasa Prancis, dan dari kata "banco"
dalam bahasa Italia, yang berarti peti atau lemari atau bangku. Konotasi kedua ini menjelaskan dua fungsi dasar yang
ditunjukkan oleh bank komersial. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi
sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, peti berlian, peti uang, yang menghasilkan port folio of earning assets, yaitu porfotolio yang memberi bank "darah
kehidupan" bernama laba bersih setelah pengeluaran-pengeluaran dari pajak.
Pada
abad ke-12 kata "banco" di
Italia merujuk pada meja, counter atau tempat usaha penukaran uang (money changer) arti ini menyiratkan
fungsi transaksi bisnis yang lebih luas yaitu: "membayar barang dan
jasa". Contoh transaksi semacam itu di zaman modern ini terjadi di
beberapa tempat seperti counter di pasar swalayan atau counter di restoran siap
saji (Fast-Food).
Jadi
kesimpulannya fungsi dasar bank adalah: a) menyediakan tempat untuk menitipkan
uang dengan aman (safe keeping function) dan; b) menyediakan alat pembayaran untuk membeli
barang dan jasa (Transaction function).36 Transformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
didefenisikan: Perubahan rupa, bentuk,
sifat dan sebagainya. Sedangkan Transformation
(Transformasi):(Psiko Analisis) diartikan: "Suatu perubahan dalam perasaan atau
impuls sedemikian rupa, sehingga bisa menyembunyikan atau menyamarkan semuanya,
dengan maksud untuk mendapatkan hak masuk atau perizinan ke dalam kesadaran”
Sedangkan menurut Soedjito Sosrodiharjo dalam tulisannya,
“Agama, Demokrasi dan Transformasi
Sosial”, 39 dinyatakan bahwa,
apabila transformasi dikaitkan
dengan konteks sosial, maka berarti menunjuk pada proses perubahan masyarakat. Dalam pada itu lebih lanjut beliau
menjelaskan bahwa, perubahan sosial hanya dapat berjalan, jika ada
perubahan juga dalam kebudayaan. Perubahan kebudayaan ini akan mempermudah transformasi
misalnya menuju masyarakat industri.
2. Transformasi sistem perbankan dari berbasis
bunga kepada profit and loss sharing
Bank
syari’ah atau bank Islam, merupakan wujud nyata transformasi sistem perbankan
yaitu dari berbasis bunga kepada sistem yang berbasis bagi hasil atau lebih
dikenal dengan profit and loss sharing
system.
Bank-bank Islam
telah mentransformasi sistem
dan prosedur perbankan yang ada. Jika terjadi pertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah, maka bank-bank Islam merencanakan dan
menerapkan prosedur mereka sendiri guna menyesuaikan aktivitas perbankan mereka
dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Untuk itu dewan pengawas syariah (DPS)
berfungsi memberikan Advis kepada perbankan Islam guna memastikan bahwa bank Islam tidak terlibat
dalam unsur-unsur yang tidak disetujui oleh Islam.
Jika
yang dimaksud dengan "Bank" adalah istilah bagi satu lembaga
keuangan, maka istilah "Bank" tidak disebutkan secara explisit dalam
al- Quran. Tetapi jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur- unsur
seperti struktur, manajemen, fungsi, hak
dan kewajiban, maka semua itu disebutkan
dengan jelas, seperti zakat, shadaqoh, ghanîmah
(rampasan perang), bai' (jual
beli), dayn (hutang), mâl (harta) dan sebagainya yang memiliki konotasi fungsi
yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi. Lembaga-lembaga
itu pada akhirnya bertindak sebagai individu yang dalam konteks fiqih disebut Syakhsiyyah - I'tibâriyah atau Syakhshiyyah -Ma'nâwiyah.
3. Sejarah transformasi sistem perbankan
Sejarah
berkembangnya bank yang telah mentransformasi
sistem operasionalnya dengan sistem berlandaskan syariah di Indonesia,
dimulai dengan berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam dan berpengaruh ke Indonesia.
Sekalipun
Indonesia bukan negara Islam yaitu negara yang berdasarkan hukum syariah Islam, tetapi Indonesia adalah
negara yang mayoritas Islam. Sebagai negara Muslim kebutuhan bagi para penduduk
Indonesia yang miskin akan adanya suatu bank yang berdasarkan prinsip syariah,
suatu barang tentu sangat diperlukan. Gagasan
untuk mendirikan bank syariah,
sebagai istilah pengganti bank Islam istilah yang dihindari karena berkonotasi
ideologis. Sebenarnya telah muncul sejak pertengahan 70-an.
Ini dibicarakan, misalnya pada
seminar hubungan Indonesia Timur Tengah pada tahun pada tahun 1974 (seminar
nasional) dan 1976 (Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh lembaga
Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK)
dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa alasan yang menghambat
realisasi ide tersebut. Pertama, karena
operasi syariah menerapkan prinsip bagi
hasil (profit and loss sharing) itu belum diatur, karena itu
tidak sejalan dengan Undang-Undang
Pokok Perbankan No.14/1967
yang berlaku. Kedua, konsep
bank Islam waktu
itu, terjemahan Islamic Bank dari segi politik berkonotasi ideologis,
yang merupakan bagian dari konsep negara Islam dan itu tidak dikehendaki
pemerintah. Ketiga, masih dipertanyakan
siapakah yang bersedia menaruh modal
dalam ventura semacam itu.
Sementara pendirian bank baru dari Timur
Tengah konon masih dicegah, antara lain karena pembatasan bank Asing yang ingin
membuka kantornya di Indonesia.
Pada
awal periode 80-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam
mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut antara lain Karnaen Perwataatmaja, M.
Dawam Raharjo. A. M. Saifuddin, M. Amin Aziz, dan lain-lain. Cita-cita ummat
Islam Indonesia untuk mendirikan
bank syariah mulai terwujud dengan adanya ide pendirian bank tanpa bunga yang
digulirkan kembali dalam lokakarya, "Bunga Bank dan Sistem Perbankan"
yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan
Majlis Ulama Indonesia (MUI) di
Cisarua Bogor, 19-22 Agustus 1990,44 lokakarya ini diikuti oleh para banker, Ahli
Hukum Islam dan pejabat Moneter Indonesia.45 Forum berhasil menyepakati untuk mendirikan
bank bebas bunga yang sejalan dengan syariat Islam. Sekalipun status hukum
bunga bank masih mengambang dalam lokakarya tersebut.
Rekomendasi sebagai hasil lokakarya, ditindaklanjuti oleh
musyawarah Nasional MUI ke-IV di hotel
Sahid Jaya Jakarta 22-23 Agustus
1990, dengan menugaskan
Dewan Pimpinan MUI untuk membentuk kelompok Kerja (Tim
Perbankan) yang ditugasi memprakarsai pendirian bank berdasarkan syariah Islam.
Tim
tersebut berhasil mengidentifikasi dua ancaman
yang mungkin timbul dalam mewujudkan berdirinya bank syariah
tersebut.
Pertama,
operasionalisasi bank syariah dikaitkan dengan fanatisme agama, akan ada
pihak-pihak yang menghalangi berdirinya
bank syariah semata-mata karena tidak suka akan kebangkitan umat Islam dari keterbelakangan
ekonominya. Isu eklusifisme atau SARA yang mungkin
dilontarkan untuk mencegah berkembangnya bank Islam di Indonesia secara luas.
Kedua, ancaman dari mereka yang terusik kenikmatannya merebut kekayaan rakyat
yang sebagian besar beragama Islam melalui sistem perbankan yang ada.
Munculnya
bank Islam menuntut pemerataan yang lebih adil akan dirasakan sebagai ancaman terhadap
status quo yang menikmatinya selama puluhan tahun.
Mereka akan menghambatnya dengan cara membenturkan pada perangkat perundang-undangan. Perbankan
yang ada pada saat itu memang boleh disebut tidak memberi ruang beroperasinya
bank tanpa bunga sesuai dengan syariah Islam. Undang- undang pokok
perbankan No.14/1967 memang tidak mengizinkan beroperasinya bank tanpa
bunga kredit.
Kehawatiran
ancaman tersebut ternyata tidak sepenuhnya terbukti, mengenai kendala
UU No. 14/1976. Sedikit bisa teratasi
setelah keluarnya deregulasi perbankan tahun 1983 yang salah satu
bunganya sendiri hingga 0 %,
bahkan peniadaan bunga sekaligus. Deregulasi tersebut baru dapat dimanfaatkan setelah
keluarnya paket oktober (PAKTO) 1988 yang memberikan kesempatan untuk
mendirikan bank- bank baru, yang implikasinya memperbesar peluang kehadiran
bank-bank berdasarkan syariah.
Pada
tanggal 27 Agustus 1991, tim pendiri bank Islam mengadakan pertemuan dengan
presiden Soeharto yang disambut dengan antusias. Kepala Negara langsung
bersedia dicantumkan sebagai pemrakarsa bank Islam sekaligus memberikan dana 3
milyar dari kas Yayasan Amal bakti Muslim
pancasila, tapi tanpa bunga dan tanpa batas waktu pinjaman. Dalam
pertemuan tersebut presiden RI H.M. Soeharto menyarankan agar bank Islam yang
akan didirikan itu diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Sebagai
hasil kerja tersebut, maka lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Penandatanganan
akta pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia (MUI) di hadapan akte notaris
tanggal 1 November 1991. Dalam acara penandatanganan itu dilakukan penjualan
saham yang akhirnya terkumpul modal awal sebesar 10 milyar rupiah.50 Angka tersebut tercatat sebagai modal terbesar
dalam sejarah perbankan setelah dikeluarkannya PAKTO 88,
Sukamdani Sahid Gitosardjono,
seorang pengusaha perhotelan berkata," Pengumpulan dana Bank
Muamalat Indonesia adalah salah satu
rekor pengumpulan modal bank tercepat." Meskipun perkembangan agak
terlambat jika dibandingkan Negara-negara Muslim lainnya, perbankan Syariah di
Indonesia, maka pada tahun 1999 bertambah tiga unit. Pada tahun 2000, bank
syariah maupun bank konvensional yang membuka unit usaha syariah meningkat
menjadi 6 unit. Sedangkan jumlah BPRS (Bank perkreditan Rakyat Syariah) telah
mencapai 86 unit dan masih akan bertambah. Di tahun mendatang, jumlah bank
syariah ini akan terus meningkat seiring dengan masuknya pemain-pemain baru
bertambahnya jumlah kantor cabang bank
syariah yang telah ada maupun dengan
dibukanya Islamic Window di Bank-bank
konvensional. Perkembangan perbankan syariah ini tentunya juga harus
didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun
realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani yang
selama ini terlibat di institut syariah tidak memiliki pengalaman akademis
maupun praktis dalam Islamic banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikasi
mempengaruhi produktifitas dan profesionalisme perbankan Syariah itu sendiri.
Dan inilah memang yang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yaitu
mencetak sumber daya insani yang mampu mengamalkan ekonomi Syariah di semua
ini, sebab sistem yang baik tidak mungkin dapat
berjalan jika tidak didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.
Di
samping itu pula dukungan dan kepercayaan kaum muslimin seperti terlihat dari
begitu banyaknya dana yang terkumpul, di satu sisi merupakan perkembangan yang
menggembirakan. Namun di sisi lain
menjadi beban moral yang berat bagi para pengelola Bank Muamalat Indonesia.
Kehadiran bank Islam itu juga berarti
taruhan politis ummat Islam, jika pengolahan bank Islam itu kemudian
mengecewakan atau gagal, akan sulit menanamkan kepersayaan pada masa
berikutnya.
Status
hukum bank Islam mendapat legitimasi yang kokoh setelah dikeluarkannya UU. No.
7 tahun 1992 tentang perbankan. Bagi Bank Muamalah Indonesia, status hukum itu memperkuat legitimasi Bank Muamalah
Indonesia yang mulai beroprasi pada tanggal 1 Mei 1992. Pada awal pendiriannya,
keberadaan bank Syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan
industri perbankan nasional.
Pada awalnya, landasan hukum
operasi bank syariah
ini hanya dikatagorikan sebagai bank
dengan sistem bagi hasil
tidak terdapat landasan hukum
syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU. No.7 tahun
1992 di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya
sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka.
Seiring dengan berputar waktu,
perkembangan perbankan syariah mulai mengalami pertumbuhan pesat pada era reformasi yang ditandai dengan
perubahan UU. No. 7 1992 menjadi UU. No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Dalam
undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang itu juga memberikan arahan bagi bank-bank
konvensional untuk membuka cabang bank Syariah atau mengkonversi diri secara
total menjadi bank syariah.
Peluang
tersebut disebut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai
memberikan perhatian dalam bidang
perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank menjajaki pembukaan divisi
atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lagi berencana mengkonversi
diri menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia (BI) dengan mengadakan pelatihan perbankan
Syariah bagi para pejabat BI.
4. Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah
Bank
syariah adalah bukan lembaga sosial. Akan tetapi bank syariah adalah bank yang
bertujuan komersial yang sekaligus menerapkan ajaran Islam yang operasionalnya sungguh memperhatikan
restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam. Secara garis besar prinsip-prinsip perbankan
syariah adalah :
a. al-Ta'âwun, yaitu prinsip
saling membantu dan bekerja sama
di antara anggota masyarakat untuk kebaikan
b.
Menghindari al-Iktinaz, yaitu prinsip
menahan uang atau dana membiarkannya
menganggur (idle) dan tidak berputar
dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
c. Larangan
riba, yaitu prinsip yang melarang pembayaran bunga.
Banyak
pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil.
Bahkan meminjamkan uang dengan bunga telah dilarang sejak zaman Yunani kuno.
Sebelum itupun Aristoteles dan Plato juga sangat menentang pengenaan bunga.
Mereka berpikir bahwa cara itu berarti menentang ajaran kesejahteraan sosial
dari negara.55 Menurut mereka cara itu tidak adil dan seperti
mencari keuntungan yang tidak alami dari misi yang tidak bernilai.
Perbedaan
mendasar antara bank syariah dan bank konvensional adalah adanya larangan riba
(bunga) bagi konvensional, dan menghalalkan jual beli.
Sejak
awal dasawarsa 1970-an, umat Islam diberbagai negara telah berusaha untuk
mendirikan bank Islam. Tujuannya adalah mempromosikan dan mengembangkan
penerapan prinsip-prinsip syari’ah Islam
dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait . Prinsip utama
yang dianut oleh Bank Islam adalah :
1) Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk
transaksi.
2) Menjalankan
bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan
yang sah menurut syari’ah
3) Memberikan zakat.
5. Sistem Operasional Usaha Bank Syariah
Ada 4 perbedaan
mendasar antara bank konvensional dan
bank syariah. Pertama, dari segi akad
dan legalitas. Akad yang dilakukan bank syariah memiliki konsekuensi duniawi
dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Kedua, mengenai struktur organisasi.
Bank syariah dapat memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank- bank
konvensional tetapi unsur yang
membedakan adalah keharusan adanya Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang
bertugas mengawasi
operasionalisasi bank dan produk-produk agar sesuai dengan garis syariah. Ketiga, mengenai bisnis dan usaha yang dibiayai. Pada bank
syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan
syariah (syari’ah complience). Keempat, mengenai lingkungan kerja dan corporate culture, Sifat amanah, siddiq
tabligh, dan fathânah harus melandasi kinerja setiap karyawan sehingga tercipta
profesionalisme yang berdasarkan Islam, dan dalam hal reward dan punishment diperlukan
prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah. Dari
kenyataan tersebut terlihat bahwa prinsip syariah menjadi aturan dasar yang membentuk pola dan mengatur hubungan
bank syariah baik internal (pengaturan manajemen usaha) maupun eksternal
(pengaturan hubungan dengan nasabah).
6. Prinsip-prinsip akad/transaksi dalam bank
syariah
Berkaitan
dengan pengaturan hubungan dengan nasabah terdapat 5 prinsip dasar bank
syari’ah dalam melakukan transaksi yaitu a. prinsip titipan atau simpanan (depository), b. prinsip bagi hasil (profit and loss sharing), c. prinsip
sewa (operasional lease and financial lease), d. prinsip jual beli (sale and purchase) dan e. prinsip jasa (fee based services).
a) Prinsip titipan atau simpanan
Prinsip
ini dikenal juga dengan prinsip al-wadi'ah.
Wadiah dapat diartikan sebagai
titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
b) Prinsip bagi hasil (Profit and loss Sharing)
Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah
dapat dilakukan 4 akad utama yaitu musyarokah,
mudharobah, muzaro'ah dan musaqoh. Akan
tetapi, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah
dan al-mudharabah. Dalam musyarakah masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana atau mâl (expertise) dengan keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.59 Pada perbankan syari’ah biasanya prinsip ini
dipraktekkan dalam pembiayaan proyek maupun
modal ventura. Dalam mudharobah,
pihak pertama (shâhibu
al-mâl) menyediakan
keseluruhan (100%) modal dan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan dibagi
menurut kesepakatan kontrak (nisbah),
sedangkan kerugian akan ditanggung pemilik modal selama kerugian
bukan akibat kelalaian pengelola. Perbankan dapat menerapkan hal ini pada tabungan berjangka untuk tujuan khusus seperti tabungan
haji, kurban, untuk deposito biasa, juga
untuk pembiayaan modal
kerja. Selanjutnya al-muzaroa'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dengan penggarap untuk
diatanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil
panen. Dimana benih tanaman berasal dari pemilik lahan. Sebaliknya al- musâqah adalah bentuk
sederhana dari al-muzâro'ah,
dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan. Sebagai imbalannya, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari
hasil panen.
c) Jual Beli (Sale and Purchase)
Bentuk-bentuk
akad jual beli yang telah dibahas para ulama fikih muamalah Islamiyah
terbilang sangat banyak. Jumlahnya
bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun demikian, dari
sekian banyak itu,
ada 3 jenis jual
beli yang telah
banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal
kerja dan investasi
dalam perbankan syariah,
yaitu bai' al- murabahah, bai' al-salam, dan bai' al-istisna'.
d) Prinsip sewa/al-Ijarah (Operational lease and Financial lease)
Al-ijâroh adalah
merupakan akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu
sendiri.
e) Prinsip jasa (Fee -Based Services)
Dalam
perbankan syariah prinsip jasa ini meliputi 5 ( lima) bentuk transaksi yaitu berupa
al-wakalah. Pertama Wakalah berarti penyerahan,
pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami
sebagai al-tafwidh.61 Dalam perbankan aplikasinya dapat berwujud
seperti auto debet pembayaran rekening listrik, telepon dan lainnya. Kedua adalah
al-kafâlah. Al-kafâlah adalah jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kâfil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain,
kafalah juga berarti menjadikan seorang
(penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam
pembayaran hutang. Ketiga adalah al-hawâlah. Al-hawâlah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam akad hawâlah
terdapat tiga pihak, yaitu
pihak yang berhutang (muhil),
pihak yang memberi hutang (muhal), dan pihak yang menerima pemindahan
hutang (muhal ‘alaih). Keempat
adalah al-Rahn. Al-Rahn
adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, dan barang yang ditahan bernilai ekonomis.
Secara sederhana rahn adalah semacam
jaminan hutang, atau gadai.64 Yang ke lima adalah al-qordh. Al-qordh adalah
meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan
atau akad saling membantu dan bukan
transaksi komersial,65 yang umumnya diberikan kepada nasabah yang
telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya atau kepada nasabah yang
betul-betul membutuhkan dan berhak.
7.
Aplikasi Prinsip Islam dalam Perbankan Syari'ah
Untuk mendapatkan
persepsi yang jelas tentang
aplikasi prinsip syari'ah dalam perbankan Islam, dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Penghimpunan
Dana/Deposit Bank Syari’ah66
No.
|
Produk/jasa
|
Prinsip syariah
|
1.
|
Giro
|
Wadi'ah yad dhamanah
|
2.
|
Tabungan
|
Wadi'ah Yad Dhamanah/Mudharobah
|
3.
|
Deposito
|
Mudharobah
|
4.
|
Simpanan khusus
|
Mudharobah Muqayyadah
|
Pembiayaan dan Jasa Bank Syari’ah
No.
|
Produk/Jasa
|
Prinsip syariah
|
1.
|
Pinjaman
|
Qardh
|
2.
|
Penyertaan
|
Musyarokah
|
3.
|
Sewa beli
|
Ijarah wa iqtina/muntahiya bi al-tamlik
|
4.
|
Pembiayaan modal kerja
|
Mudhrobah, Musyarokah, Murobahah
|
5.
|
Pembiayaan proyek
|
Mudharobah, Musyarokah
|
6.
|
Pembiayaan sektor pertanian
|
Bai'Al- salam
|
7.
|
Pembiyaan untuk akuisi asset
|
Ijarah muntahiya bit tamlik
|
8.
|
Pembiyaan ekspor
|
Mudharobah, Musyarokah, Murobahah
|
9.
|
Anjak piutang
|
Hiwalah
|
10.
|
Letter of Credit
|
Wakalah
|
11.
|
Garansi bank
|
Kafalah
|
12.
|
Inkaso/Transfer
|
Wakalah/ Hawalah
|
13.
|
Pinjaman sosial
|
Qardhul hasan
|
14.
|
Surat berharga
|
Mudharobah, qard
|
15.
|
Safe deposito box
|
Wadi'ah Amanah
|
16.
|
Jual beli Valas
|
Sharf
|
17.
|
Gadai/Agunan
|
Rahn
|
Sumber
: Petunjuk Pelaksanaan Kantor Bank Syari’ah, Bank Indonesia
8. Uraian Tentang Prinsip-Prinsip Syariah Dalam
Bank Syariah
Berikut ini uraian
tentang produk-produk perbankan
Islam dan landasan
operasionalnya. Secara garis besar, produk perbankan syari'ah dapat dibagi
menjadi tiga bagian:
a. Produk Penghimpunan Dana (funding)
Penghimpunan dana bank syari’ah dapat diperoleh
dari tiga sumber, yaitu: modal,
titipan (wadi’ah), Investasi Mudharabah (trust
financing, trustinvesment).
1) Modal, maksud modal disini adalah dana modal
sendiri, yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank,
yakni pemilik bank. Pada akhir periode tahun buku,
setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut. Pemilik modal
akan mendapat bagian dari hasil usahanya
(dividen). Dalam perbankan syari’ah mekanisme penyertaan
modal pemegang saham dapat dilakukan
melalui musyarakah fi sahm asy-Syarikah (equity participation) pada saham perseroan bank
2) Wadi'ah (depository), yaitu fasilitas
yang diberikan oleh bank Islam untuk memberikan
kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya yang harus
dijaga oleh pihak bank dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Dengan
kata lain adalah akad yang terjadi antara dua pihak, dimana pihak pertama
menitipkan suatu barang kepada pihak kedua. Secara umum Wadi'ah terdiri dari 2 (dua) jenis:
a) Wadi'ah Yad
al-Amanah (trustree depository), penerimaan titipan (Wadi'ah/costudian) adalah penerima
kepercayaan (trustree). Ia
tidak diharuskan mengganti
segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan.
Penerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang
dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
b) Wadiah
Yad al-Dhamanah (guarantee depository), adalah akad titipan, dimana
mustawda’/custodian adalah trustee
yang sekaligus penjamin (guarantor)
keamanan asset yang dititipkan, penerima titipan bertanggungjawab penuh atas
segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut.
Penerima titipan boleh menggunakan dan
memanfaatkan uang atau barang yang
dititipkan.
Sebagai konsekwensi dari yad al-dhamanah, semua keuntungan
yang dihasilkan dari dana titipan
tersebut menjadi milik bank demikian juga ia adalah penanggung seluruh
kemungkinan kerugian. Tetapi custodian dalam hal ini pihak bank diperbolehkan
memberikan bonus kepada pemilik
harta atas kehendaknya sendiri, tanpa
diikat oleh perjanjian.
Dasar hukum wadi'ah
yad al- Amânah adalah: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah
(titipan) kepada yang berhak menerimanya …"(QS. al-Nisa' 4: 58). Madlul dari ayat di atas adalah Allah
memerintahkan kepada kita untuk menjaga dan melaksanakan amanah yang
dipercayakan kepada kita. Wadi’ah merupakan
salah satu bentuk amanah dari pihak ketiga (nasabah) kepada Bank syari’ah.
Pihak bank wajib menjaga amanah itu, dengan imbalan pihak bank diperbolehkan
untuk mengambil biaya dari barang yang diamanahkan oleh nasabah kepada bank. "Dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a
katanya: Nabi SAW. Pernah
mengirimkan pakaian sutra
campuran kepada Umar r.a kemudian Beliau melihat pakaian itu dipakai Umar. Sabda Beliau: "Sesungguhnya aku kirimkan
pakaian itu kepadamu bukan untuk
kau pakai, yang akan memakainya adalah orang yang tidak
beruntung. kukirimkan kepadamu supaya engkau dapat mengambil manfaat
dari padanya. Yakni supaya kamu jual."(HR. Bukhari).
Aplikasi
wadi'ah dalam perbankan
adalah pada giro (current
account). Deposito atau tabungan berjangka (saving account). Giro termasuk dalam wadi'ah yad al-Dhamânah, sedangkan Wadiah
Yad al-Amânah adalah titipan murni (deposit
box).
3) Investasi Mudhârabah (trust financing, trustinvesment),
yaitu akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (Shâhib al-mâl) menyediakan seluruh modal dan pihak lainnya menjadi pengelola
(mudhârib). Keuntungan
dibagi bersama berdasarkan kesepakatan
awal dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Mudhârabah terbagi 2 dua:
a) Mudhârabah al-Muthlaqah, (general
investment), transaksi dimana Shâhib al-mâl memberikan keleluasaan
penuh kepada mudhârib untuk
menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
b) Mudhârabah
al-Muqayyadah, (restricted invesment), dalam hal ini mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Dasar hukum Mudhârabah
adalah: "…dan orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah…" (al-Muzammil/ 20:
73)
"Dari Abu
Qatadah r.a katanya : Kami pergi
beserta Rasulullah Saw dalam tahun (peperangan) Hunain. Ketika itu Nabi SAW
memberikan baju besinya kepadaku. Baju
besi itu lalu kujual dan kubelikan sebidang kebun dari Bani Salamah.
Kebun itulah harta yang pertama-tama saya kumpulkan sebagai modal
dalam Islam". (HR. Bukhari)
Aplikasi dalam perbankan adalah, dalam mudharabah muthlaqoh berbentuk tabungan
berjangka seperti, tabungan haji atau tabungan kurban, sehingga bank dapat
menyalurkan pada proyek usaha bank. Sedang mudharabah
muqayyah, dalam terminologi
perbankan Syari'ah lazim disebut special invesment, yaitu proyek yang
dibiayai langsung oleh nasabah. Bank hanya bertindak sebagai wakil yang
mengatur administrasi proyek itu.
b. Produk penyaluran dana
atau pembiayaan
Sesuai dengan ragam dan jenis usaha yang digeluti
nasabah, bank syari'ah sebagai lembaga
pembiayaan berusaha memenuhi kebutuhan finansial nasabahnya. Karena itu bank syari'ah juga menyediakan
produk-produk yang mampu memenuhi kebutuhan itu. Beberapa produk yang terkait
adalah:
1) Jual
Beli (Sale and Purchase),
mekanisme kerja produk ini adalah, bank
akan membeli terlebih dahulu barang
yang dibutuhkan, atau mengangkat nasabah sebagai agen bank atau kuasa
bank untuk membeli barang tersebut. Nasabah sebagai agen atau kuasa
melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual
barang tersebut kepadanya dengan harga sesuai dengan harga beli ditambah
keuntungan (margin).77 Ada tiga macam jual beli yang tersedia:
a) Bai
murabahah (deffered payment sale), adalah jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dasar hukumnya adalah : "Allah
telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan
riba…"(Q.S al-Baqarah 2: 275).
Aplikasinya
dalam perbankan dalam bentuk pembiayaan untuk pembelian barang-barang
inventori, baik produksi maupun konsumsi. Bank sebagai penjual, nasabah sebagai
pembeli. Keuntungan dan harga pokok disepakati diawal.
b) Bai’
al-Salam (in front payment sale), yaitu pembelian barang yang diserahkan
kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka. Dasar hukumnya adalah: "Hai
orang-orang ynag beriman, apabila kamu bermualah secara
tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya…" (Q.S. al-Baqarah 2: 282).
"Dari Ibnu
Abbas r.a Rasulullah
datang ke Madinah sementara mereka sedang melakukan salaf (salam) dengan kurma
selama dua sampai tiga tahun maka
Rasulullah bersabda: "Barang siapa
yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukannya dengan takaran yang
jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang
diketahui".(HR. Bukhari)
Aplikasinya
dalam perbankan adalah untuk membiayai konstruksi dan barang-barang manufaktur
jangka pendek. Bank sebagai pemesan (pembeli) dan
nasabah sebagai penjual (pembuat).
Ketika barang akan atau sudah selesai bank boleh menjualnya secara rinci
kepada nasabah lain.
c) Bai'
al- istishna'
Bai' al-istishna' adalah akad
jual beli antara pemesan/ pembeli (Mustashni') dengan produsen/penjual (shôni')
dimana barang yang akan diperjual belikan harus dibuat lebih dahulu dengan
kriteria yang jelas. Istishna' hampir sama dengan bai' as-Salam. Bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya. Pada salam pembayarannya harus di muka dan
segera, sedang istishna' pembayarannya
boleh di awal, di tengah atau
di akhir, baik
sekaligus atau bertahap.
2) Bagi Hasil (profit and loss Sharing)
a) Mudharabah (trustee profit sharing), selain
sebagai produk penghimpunan dan, mudharabah juga termasuk ke dalam produk pembiyaan kepada nasabah
dengan sistem bagi hasil untuk proyek-proyek jangka pendek maupun jangka panjang. Aplikasinya dalam perbankan bisa
dilakanakan dalam investasi lainnya.
b) Musyarakah
(joint venture profit sharing), adalah
antara dua pemilik modal untuk menyatukan modalnya pada usaha tertentu.
Keuntungan ataupun kerugian ditanggung sesuai dengan kesepakatan awal. Bentuk
aplikasinya adalah pada pembiayaan proyek yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh
bank, selebihnya ditanggung
oleh nasabah. Yang mendasari transaksi musyarakah
adalah : "Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
orang Anshor berkata kepada Nabi SAW : "Bagilah pohon-pohon kurma
itu diantara kami
dan saudara-saudara
kami orang Muhajirin", Beliau bersabda :
"Tidak ". Lalu orang Anshor berkata kepada orang Muhajirin: "Bayarlah kepada kami biaya
pemeliharaannya dan buahnya
kita bagi". Orang Muhajirin berkata: "Baiklah kami
setuju". (HR. al-Bukhari)
3) Al-Ijaroh
(operational lease and Financial lease), yaitu akad sewa
menyewa barang antara
dua pihak tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut. Model lain dari transaksi ijaroh ini, adalah sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan.
Ia disebut dengan Iqtina' al Ijaroh wa
al- Iqtina' atau al Ijaroh Muntahia
bi al-Tamlik (financial lease with
purchase option). Dasar hukum Ijaroh adalah : "Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak
akan ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan".(QS. Al-
Baqarah/2:233) "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda,
"Berbekamlah kamu kemudian berikan olehmu upahnya kepada tukang bekam
itu.” (HR. Bukhari)
Aplikasi
prinsip diatas adalah digunakan untuk akad sewa yang terjadi antara bank
(pemilik barang) dengan nasabah
(penyewa). Untuk finansial lease cicilan
sewa sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
4) Produk
jasa
a) Qard
al-Hasan (soft and benevolent loan)
Produk
ini adalah berupa pemberian harta kepada orang lain dengan
meminjamkannya tanpa mengharapkan imbalan. Landasan syari'ah produk ini adalah
sebagai berikut: "Barang siapa yang meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, maka Allah akan
melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan
memperoleh yang banyak".(QS. Al- Hadid/57:11)
"Ibn Mas'ud
meriwayatkan bahwa Nabi SAW
bersabda: Bukan seorang muslim (mereka)
yang meminjamkan kepada muslim lainnya dua
kali kecuali yang satunya adalah senilai sedekah". (HR. Ibn Majah) .
Perbankan
Syari'ah menerapkan prinsip ini dalam bentuk produk pelengkap atau fasilitas
tambahan bagi nasabah yang memerlukan dana mendesak untuk membiayai usahanya.
b) Wakalah, adalah perwakilan antara dua pihak pertama mewakilkan sebuah urusan kepada pihak kedua untuk
bertindak atas nama pihak pertama. Dasar
hukumnya adalah sebagai berikut: "Jadilah aku bendaharawan negara (Mesir).
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengalaman".
(QS.Yusuf 12: 55)
"Dari Sahal bin Sa'ad r.a Dia bercerita :
"seorang wanita datang kepada Rasulullah lalu berkata: "Ya Rasulullah
aku menyerahkan diriku kepada anda". Maka
berkata seorang laki-laki, kawinkanlah aku dengannya. Sabda beliau, kami
kawinkan engkau dengan dia dengan mahar al-Quran yang telah kau pelajari"
(HR. Bukhari)
Aplikasinya dalam
perbankan adalah pengiriman uang atau
transfer, penagihan (collection/inkasso), letter of credit (L/C). Sebagai
imbalan, bank mengenakan
fee atau 'umulah atas jasanya terhadap nasabah.
c) Kafalah (guarantee), merupakan akad
jaminan satu pihak ke pihak yang lain
dengan mengalihkan tanggung
jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang kepada tanggung jawab orang
lain sebagai penjamin. Sumber hukum
produk ini adalah: "Telah dihadapkan kepada Rasulullah mayat seorang
laki-laki untuk dishalatkan…Rasulullah
bertanya : "Apakah mempuyai warisan?". Para sahabat menjawab, "Tidak".
Rasulullah bertanya lagi, "Apakah dia
mempunyai hutang?". Sahabat
menjawab. "Ya, sejumlah tiga dinar." Rasulullah pun menyuruh para
sahabat untuk menshalatkan, tetapi beliau sendiri tidak. Abu Qatadah lalu
berkata, "Saya menjamin hutangnya ya Rasulullah." Maka Rasulullah
menshalatkannya". (HR. Bukhari)
Aplikasi
kafalah dalam perbankan adalah; untuk
membuat garansi suatu proyek
(performance bonds); berpartisipasi dalam tender (tender bonds); membuat garansi atas
pembayaran hutang (payment bonds);
dan untuk membuat garansi penawaran (bid
bonds).
d) Hawalah
(transfer service), yaitu pengalihan hutang dari orang yang berhutang pada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dasar
hukum praktik ini dibolehkan
berdasarkan sunnah dan ijma'. "Menunda pembayaran bagi orang
yang mampu adalah suatu
kedzaliman dan jika salah seorang kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada
orang yang mampu
atau kaya "terimalah hawalah itu".(HR.Bukhari)
Dasar ijma'
ditunjukkan oleh kesepakatan ulama' yang membolehkan hawalah pada hutang yang
tidak berbentuk barang atau benda. Karena hawalah
adalah perpindahan hutang. Oleh karena
itu harus berbentuk uang atau kewajiban financial.
Penerapannya dalam
perbankan adalah, pada produk factoring
(anjak piutang) berupa akad yang terjadi antara nasabah yang memiliki
piutang kepada pihak yang ketiga memindahkan
piutang itu kepada
bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank
menagihnya dari pihak ketiga. Sementara
pada post date check
– bentuk turunan hawalah – bank bertindak sebagai juru
tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
e) Rahn
(mortgage) berarti menahan salah satu hata milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya (semacam jaminan hutang atau gadai).
Dasar hukumnya adalah:
"Jika kamu
dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang di pegang (oleh yang
berpiutang)…". (QS. al-Baqarah/2: 283)
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari; "Akbarana Umar
bin Muhammad al-Hamdani, haddatsana Basyar bin Mu'adz
al-Aqdiy, haddatsana Abdul Wahid bin Ziyad haddatsana al-A'masy berkata,
Ibrahim menyebutkan al-Rahn (gadai) dalam masa gencatan senjata seraya berkata,
akhbarani al- Aswad dari Aisyah r.a bahwasannya Rasullah membeli makanan dari
Zufar (seorang Yahudi) dan memberikan jaminan kepadanya baju besi". (HR. Ibnu Hibban).
Perbankan menerapkan produk ini sebagai
fasilitas tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. Bentuk lainnya juga, ia
merupakan produk tersendiri melayani kebutuhan nasabah yang sifatnya jasa dan
konsumtif seperti, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment