RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM.
A. RIBA
1) Pengertian
Riba (ﺎ ﺑﺮﻟا) menurut bahasa bermakna ziyadah (ةدﺎ ﯾﺰﻟا) dan fadhl (ﻞﻀ ﻔﻟا) yang berarti tambahan. Dalam pengertian lain, secara bahasa, riba juga
berarti tumbuh dan membesar.
Adapun
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil. 13 Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba,
namun secara umum terdapat benang merah
yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam- meminjam secara batil atau
bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Mengenai pendapat ini, Allah
Swt., mengingatkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil…(QS. An-Nisâ’/4: 29)
Kaitannya
dengan pengertian al-Bâthil
dalam ayat tersebut, Ibnu
al-‘Arabi al-Maliki dalam
kitabnya, Ahkâm al-Qurân, menjelaskan; “Pengertian riba secara
bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat
al-Qurân, yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah”
Yang
dimksud beliau dengan transaksi pengganti adalah transaksi bisnis atau
komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti
transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa misalnya, si penyewa membayar
sejumlah upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk
menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan penyewa.
Lebih lanjut Anwar menjelaskan pada contoh transaksi
pinjam meminjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan
dalam bentuk bunga tanpa adanya
transaksi penyeimbang yang diterima
si peminjam kecuali kesempatan
dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, dan tidak boleh tidak, harus, mutlak,
dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga
dana itu tidak
akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata
tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika
orang tersebut mengusahakannya, bisa saja untung dan bisa rugi. Inilah yang
menjadi hikmah dilarangnya transaksi riba,
agar perekonomian manusia
berjalan sesuai dengan realitas
manusia itu sendiri.
2)
Pelarangan Riba dalam al-Qurân dan Hadis
Dasar pelarangan riba yang terdapat dalam
al-Qurân tidak diturunkan sekaligus,
melainkan diturunkan dalam tahapan- tahapan. Hikmah yang terkandung dibalik tahapan-tahapan
pelarangan riba ini menurut Abu Sura’i guru besar Fakultas Syari’ah Riyadh
University15, bahwa supaya kita dapat mengetahui metode
yang ditempuh al-Qurân dalam mengharamkan riba, cara yang ditempuhnya adalah
bertahap dengan maksud membimbing
manusia secara mudah dan lemah
lembut dalam mengalihkan
kebiasaan mereka yang sudah berakar, seperti riba dan minuman keras.
Lebih lanjut menurutnya ada
beberapa tahapan dalam proses turunnya ayat terkait dengan larangan riba,
pertama, diadakan larangan secara temporal, kemudian diadakan secara tuntas.
Sebagian orang ada yang keliru di dalam memahami metode al-Qurân yang bertahap
ini, lalu mereka berpegang kepada ketentuan yang bersifat temporal
kemudian mengira bahwa ketentuan itu sudah bersifat final, kemudian mereka
jadikan sebagai dasar berpendapat
yang terkadang menyalahi petunjuk-petunjuk pada ayat yang lain yang
datang pada tahap berikutnya. Ada empat ayat yang menetapkan larangan riba,
salah satunya turun di Mekkah dan tiga lainnya di Madinah. Sejalan dengan pendapat Wahbah Zuhaily
bahwa, dasar pelarangan riba yang terdapat dalam al-Qur’ân tidak
diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan
dalam empat tahap16. Tahap
pertama, menolak anggapan bahwa riba yang zhahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai
suatu perbuatan mendekati atau taqarrub
kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah surat al-Rum: 39 : "Dan, suatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)" (al-Rûm/30: 39).
Madlul dari ayat di atas belum menunjukkan keharaman
riba. Allah SWT. hanya menerangkan
bahwa riba yang
akan menambah
pada harta manusia, tidak akan bertambah
di hadapan Allah SWT. Hal ini berbeda dengan harta yang dikeluarkan
shadaqahnya. Dalam konteks ini
Allah SWT memberikan berkah-Nya
dan akan melipat gandakannya.
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk.
Allah SWT mengancam akan memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi
yang memakan riba. Sebagaimana firman Allah al-Nisâ' : 160-161 : "Maka, disebabkan kezaliman
orang-orang yahudi, kami haramkan
atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulu) dihalalkan bagi
mereka, karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang batil. Kami menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di
antara mereka itu
siksa yang pedih." (al-
Nisa'/4: 160-161)
Madlul dari ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa riba itu adalah sesuatu
yang buruk. Dan ayat di atas belum menunjukkan keharaman riba. Menurut Abu
Sura’i, ayat ini hanya
bertujuan untuk membangkitkan perhatian
dan mempersiapkan mental kaum
Muslimin untuk menerima adanya ide larangan riba. Khususnya
larangan riba ini sudah pernah terdapat pada agama Yahudi. Maka tidak diragukan
lagi setiap orang yang mengikuti metode
al-Qur’ân dalam menetapkan larangan secara bertahap akan memperkirakan
bahwa akan turun ayat berikutnya yang menyatakan haram. Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda. Para ahli
tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masatersebut. Allah berfirman dalam surat Ali Imran : 130 : "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
"(Ali Imrân/3: 130)
Ayat ini
turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, surah Ali Imran: 130 ini memang
hanya melarang riba yang berlipat ganda
saja, akan tetapi jika
dipahami dan dicermati
ayat tersebut termasuk mengaitkannya
dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman
terhadap fase- fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada
kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk
dan jenisnya mutlak diharamkan. Bila kita telah sampai pada prinsip ini,
maka kita dapat mengatakan bahwa pada hakikatnya riba disini bukan
semata-mata bersifat suatu
peristiwa dalam sejarah yang
pernah terjadi di
Jazirah Arab dan
yang merupakan sasaran larangan itu sendiri, akan tetapi ia adalah suatu
kebiasaan dalam sistem transaksi yang dibenci, walaupun betapa kecil
nilainya. Transaksi riba
bukan merupakan tindakan terpisah
dan sederhana, namun merupakan transaksi yang
sifatnya disatu pihak
berulang kali dan
pihak lain menimbulkan akibat-akibat berantai
sejalan dengan perkembangan
waktu dan menimbulkan perlipat gandaan. Menurut Antonio Syafi’i17 bahwa kriteria berganda ini harus dipahami sebagai hal
(لﺎ ﺣ) atau sifat riba, dan sama sekali bukan
merupakan syarat.
Menanggapi
hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fikih
Islami di Paris tahun
1978, menegaskan kerapuhan
asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik (ﻒﻌ ﺿ) arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 12
kali lebih besar dari
semula, sedangkan (ف ﺎﻌ ﺿأ) adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi.
Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian (ﺎ ﻓ ﺎﻌ ﺿأ) berarti 3X2= 6 kali. Adapun (ﺎﻔﻋﺎﻀﻣ) dalam konteks ayat ini adalah sebagai ta’kid (ﺪ ﯿﻛ ْﺎ ﺘﻠﻟ) untuk
penguatan. Dengan demikian, lebih
lanjut menurutnya bahwa, kalau berlipat ganda dijadikan syarat maka selaras
dengan konsekuensi bahasa, minimum harus
6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil
terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.18 Sedangkan ketetapan dalam QS. 2:278 menyatakan:
Artinya: ”…dan tinggalkanlah sisa-sisa riba…”, adalah
jelas menyatakan bahwa riba itu asalnya haram, tanpa dijelaskan batas
dan sifatnya.
Tahap terakhir, Allah
SWT dengan jelas
dan tegas mengharamkan
apapun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah
ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba. "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketauhilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba) maka
bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."
(al-Baqarah/2: 278-279)
Madlul dari ayat di atas adalah tingggalkan riba
walaupun sedikit adanya. Apabila tidak ditinggalkan, maka Allah dan Rasulnya
yang akan memerangi. Bentuk taubat dari orang yang melakukan riba adalah “bagimu pokok-pokok hartamu“, artinya tidak ada tambahan sedikitpun.
Karena dalam riba ada unsur saling menzhalimi dan eksploitasi harta dengan
jalan bathil.
Ada beberapa Hadis yang melarang
penggunaan riba, di dalam amanat terakhir terakir Rasulullah Saw,
pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, rasulullah Saw masih menekankan
sikap Islam yang melarang riba. “Ingatlah
bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan
dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang
kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat
riba harus dihapuskan. Modal (uang
pokok) kamu
adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun
mengalami ketidakadilan.” (HR. Muslim)
Selain
itu masih banyak lagi hadis yang menguraikan masalah riba. Akan tetapi penulis hanya ingin memaparkan Hadis Shahih dan memusatkan pada beberapa
riwayat yang paling sah, di antaranya, Dari
Ubadah bin sha’id, dari Nabi saw., sabdanya: ”Emas dengan emas, perak dengan perak, beras
dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam,
kalau sama macamnya dan sama bentuknya (adalah) riba. Tapi bila berlainan jenisnya
maka lakukanlah jual beli jika kamu menghendakinya selama dengan kontan”, (HR.
Muslim)
“Jabir berkata bahwa Rasulullah Saw mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang
saksi-nya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim)
Inilah sekumpulan
hadis yang menyatakan haramnya
riba. Masih banyak Hadis lainnya yang menegaskan besarnya dosa yang dilakukan oleh pelaku riba. Hadis yang lain
juga berbicara tentang jual beli, juga membahas tentang haramnya riba Jahiliyah
dan sebagain tentang riba Nasi’ah, untuk lebih detail akan dibahas dalam
macam-macam riba.
3) Sebab
turunnya ayat-ayat riba
Sebelum
melangkah pada pembahasan macam-macam riba, maka penulis akan memaparkan terlebih
dahulu tentang kronologis turunnya ayat-ayat berkaitan dengan pelarangan
riba. Ketetapan al-Qur’ân akan
bisa kita fahami
melalui pengetahuan mengenai situasi dan kondisi sebab kronologis
turunnya ayat. Menurut pendapat ahli tafsir dan riwayat- riwayat mereka tentang
sebab-sebab turunnya ayat ini, maka mayoritas
mereka dapat kita ketahui
mengatakan bahwa, bangsa Arab
Jahiliyah biasa melakukan transaksi riba, khususnya kalangan orang kaya dan
golongan atas, yang dikenal
sabagai kaum pedagang. Konklusi ini penting sekali, karena hal ini dapat
membantu kita untuk menegaskan bahwa, transaksi riba sudah berlaku dalam usaha
produktif seperti pertanian maupun
perdagangan, para pedagang ini menjadi debitur maupun kreditur.
Menurut Abu Sura’i bahwa Salah satu suku
Arab yang menjalankan riba adalah suku
Tsaqif dari Bani Mughirah. Kemudian
terjadi perselisihan
diantara mereka tentang pembayaran riba yang tertunda oleh
Bani Makhzum (Bani Mughirah) di Mekkah
dengan alasan karena Islam telah mengharamkan riba, tatkala kedua pihak ini bersengketa,
mereka mengadukan perkaranya kepada ‘Utban
bin Usaid yang menjabat gubernur Mekkah pada saat itu. Lalu Utban
mengirim surat kepada Nabi memberitahukan perihal perselisihan ini. Kemudian
turunlah ayat riba dan Rasulullah Saw membalas surat Utban tersebut, kemudian
Utban membacakan ayat ini dihadapan
pihak yang berselisih dan kemudian bani Tsaqif menghentikan tuntutannya untuk
meminta riba. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ayat ini turun dengan
kaitan kasus Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, dua orang yang
berkongsi usaha pada zaman Jahiliyah. Riwayat-riwayat tersebut menjelaskan
jenis hutang dan cara pemanfaatannya yang berlaku yaitu untuk dikembangkan dan diperdagangkan, sehingga memberikan
gambaran jelas bahwa pinjaman riba tidak hanya terbatas dalam kredit konsumtif, tetapi sebagian
besarnya kalau tidak dikatakan seluruhnya bersifat kredit pengembangan
(produktif), khususnya pada masyarakat Arab yang senantiasa berlomba dengan
kedermawanan, murah hati dan harga diri. Sedangkan bagi bangsa Arab adalah hal yang tidak terpuji kalau orang
kaya memanfaatkan kesempitan orang
melarat untuk memungut riba.
Menurut hemat penulis, maka tidaklah benar kalau
pengharaman riba tersebut hanya untuk kredit konsumtif, jika kita telah
megetahui bahwa sebahagian besar kredit
yang dikeluarkan pada waktu itu bersifat produktif.
4). Macam-macam riba
Di dalam syari’ah, istilah riba secara garis
besar di gunakan untuk 2 (dua) pengertian. Pertama adalah riba hutang piutang (نﻮ ﯾ ﺪ ﻟا ﺎ ﺑر)dan
kedua adalah riba
jual beli (عﻮﯿﺒﻟاﺎ ﺑر). Kelompok pertama terbagi lagi menjadi ribâ
al-qardh dan ribâ al-jâhiliyyah, sedangkan kelompok
kedua yaitu riba
jual beli terbagi menjadi
ribâ al-fadhl dan ribâ al-nasi’ah.23 Ulama fikih kebanyakan membagi riba kepada dua
jenis yaitu ribâ al-fadhl dan ribâ al-nasi’ah.
a) Ribâ al-nasî’ah
Istilah nasî'’ah berakar dari asal kata nasa'a yang berarti penangguhan,
penundaan, tunggu, merujuk pada waktu yang diizinkan bagi peminjam untuk
membayar kembali hutang berikut tambahan atau premi. Dengan demikian riba
nasi'ah mengacu pada bunga atas pinjaman. Pelarangan riba nasi'ah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan
positif atas uang
yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena
menanti pada dasarnya tidak diizinkan oleh syariah. Tidak ada perbedaan apakah uang itu dalam
persentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus
dibayarkan di muka atau dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah
atau jasa yang diterima sebagai syarat peminjaman. Yang menjadi inti permasalahan di sini adalah keuntungan positif yang
ditetapkan dimuka.
b) Ribâ al-fadl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi. Hikmah diharamkannya riba
al-fadl adalah mencegah
terjadinya tipu daya manusia yang mana salah satu jenis harta ribawi tersebut
dianggap mempunyai nilai lebih. Maka
menukar harta ribawi berkualitas jelek dengan baik yang sejenis diharamkan.
Yang bisa di jadikan perbandingan untuk harta ribawi adalah kadar timbangan sesuai dengan adat yang berlaku pada
masyarakat tertentu.
5) Riba menjadi bunga
Dalam kosa kata bahasa inggris, riba biasanya
diterjemahkan sebagai usury, sedangkan bunga
diterjemahkan sebagai interest.25 Dilarangnya riba oleh agama-agama samawi, tidak ada yang
membantah. Setidaknya, itulah yang ditulis dalam Taurat
dan Injil. Lihatlah dalam Perjanjian Lama (Leviticus) (imamat) 25:36-37.26 Deuteronomy
(ulangan) 23: 19 Exodus (keluaran) 22:25, juga dalam Perjanjian Baru (Lukas) 6: 34-35).
Sampai
pada abad ke-13, ketika kekuasaan Gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang
oleh Gereja atau hukum Canon. Akan
tetapi, pada akhir
abad ke-13, pengaruh
Gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Bacon,
seorang tokoh saat itu, menulis dalam buku Discourse on
Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia
enggan hatinya untuk meminjamkan uang,
kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjamaan itu, maka bunga harus
diperbolehkan. Secara perlahan tapi
pasti, pelarangan riba
di Eropa dihilangkan. Di Inggris,
pelarangan itu dicabut pada tahun 1545, saat pemerintahaan Raja Henry
VIII. Pada zaman itulah,
istilah usury (riba) diganti
dengan istilah interest (bunga). Ketika raja Henry VIII
wafat, ia digantikan oleh raja Edward VI
yang membatalkan kebolehan
bunga. Ini tidak berlangsung lama, ketika Erdward VI wafat, ia
digantikan oleh Ratu Elizabet I yang kembali membolehkan bunga uang. Lima puluh
tahun kemudian, kekuatan Eropa yang sedang demam membolehkan bunga uang,
mencapai tanah air kita Indonesia
dengan bendera VOC. Awalnya
dengan dalih berdagang.
Setelah berjalan ratusan tahun,
terciptalah citra sampai saat ini bahwa
riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang bunga tidak.
Bunga bank
termasuk riba nasi’ah. Jadi teori pembungaan uang hanya merupakan bagian
dari teori riba yang jauh lebih komprehensif. Bila si peminjam dalam bank konvensional apabila nasabah
menunggak pembayaran cicilan maka bunganya berlipat-lipat atau istilahnya
disebut bunga berbunga. Menurut Murasa Sarkaniputra menguraikan prosedur bunga
berbunga berikut ini. Uang A 2010 = uang A 1999 (1 + i) 11 Kita selesaikan persamaan ini dengan
menggunakan prosedur logaritma, diperoleh: Log
Uang A 2010
= uang A 1999
+ log (1 + i) Kita mengetahui bahwa 11 menunjukkan tenggang
waktu ketika seseorang menyimpan uangnya
di suatu bank, dan menginginkan
tambahan yang selama
11 tahun dengan tingkat bunga
tertentu (1 persen). Bila kita sebutkan bahwa tingkat bunga i adalah operator
dan 11 adalah waiting time (kata
Marshall) karena seeorang telah berkorban sekian lama, maka persamaan di atas
valid apabila bunga bank tidak dilarang.
Pendekatan
statistik menawarkan lain dari ini. Yakni, karena waktu adalah milik Allah dan tambahan untuk
uang yang disimpan adalah haram hukumnya, karena uang yang diibaratkan sebagai
ayam betina yang tidak bertelur dan
hanya sebagai alat tukar serta store
value, maka manfaat uang di bank adalah hasil dari investasi yang
dikerjakan masyarakat bisnis. Baru
ketika bisnis memperoleh laba
tertentu, para penabung dan investor sama-sama memperoleh bagian dari hasil
kerja masyarakat dunia bisnis itu. Di sini ada delay bagi sang penabung dan investor, karena menunggu hasil
kerjasama usahanya, maka delay diisi
dengan do'a. Oleh karena itu, tingkat bunga dinolkan, sehingga persamaan diatas
menjadi: Log
uang A 2010
= uang A 1999
+ 11 . log (1 + 0) Karena log 1 = 0, maka uang A 2010 = uang A
1999. Hanya jika uang itu diinvestasikan, yang berarti menyerap tenaga kerja,
maka pihak deposan memperoleh bagian hasil dari tabungannya. Pernyataan ini
sesuai dengan pemikiran al-Ghozali dan sekaligus sebagai penafsiran lain dari
"centimeter, gram, second" (cgs)-nya Newton. Apabila fenomena ini benar, maka apa yang harus
disiapkan oleh setiap diri manusia agar ia mampu berjuang dengan paradigma
baru.
B. BAGI HASIL DAN KEUNGGULANNYA
Bagi
hasil (profit and loss sharing)
memiliki pengertian berbagi rugi dan berbagi untung, atau dalam bahasa arabnya
adalah mudharobah. Sistem bagi hasil diharapkan satu alternatif yang
dapat dipilih untuk menghadapi gejolak krisis moneter dan ekonomi tanpa riba
diperkira-kan mampu menghadapi
krisis ekonomi yang menghantam Indonesia
sejak tahun 1997.
Sejak tahun itu, puluhan bank
gulung tikar. Bahkan, bank-bank raksasa seperti BCA, Danamon dan Lippo pun
morat-marit. Untung saja ada rekapitulasi, kalau tidak, maka bank-bank itu pun
bisa dilikuidasi. Kemampuan bank syariah bertahan dan
bahkan mencatat kemajuan,
diasumsikan karena bank syariah menggunakan sistem bagi hasil. Bank syariah tidak dibebani
membayar bunga simpanan. Jika bank syariah meraih keuntungan
besar, maka banyak pula jumlah bagi hasil yang diberikan kepada nasabah.
Sebaliknya, jika sedikit keuntungan bank, karena krisis misalnya, maka sedikit
pula bagi hasil yang diberikan kepada penyimpan, sesuai dengan nisbah yang
disepakati. Dengan sistem bagi hasil, maka jelas bank-bank syariah selamat dari negatif spread ketika
terjadi gejolak moneter.
Sebagaimana
yang telah disebut dimuka bahwa inti dari ekonomi syariah adalah merubah sistem
riba menjadi bagi hasil. Dalam
bahasa Inggris bagi hasil adalah profit and
loss sharing. Prinsip bagi hasil dalam Islam dapat dilakukan dalam 4
akad, yaitu musyarokah, mudharobah, muzaro'ah,
dan musaqoh.
Akan tetapi prinsip yang paling banyak
dipakai adalah musyarakah dan mudharobah, sedangkan muzaro'ah
dan musaqoh dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank
Islam. Hikmah dari
prinsip bagi hasil
ini, paling tidak
kita tidak dipengaruhi oleh suku bunga di dalam negeri dan
di luar negri. Dasar Hadis tentang perintah mudharobah
adalah sebagai berikut: “Dari
Shalih bin
Shuhaib ra. dari
bapaknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tiga hal yang di dalamnya
terdapat keberkatan: Jual beli secara tangguh, muqâradah (mudhârobah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR.
Ibnu Majah)”
No comments:
Post a Comment