Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Business

Wednesday 9 May 2018

Ruang Lingkup Ekonomi Islam

  kangato       Wednesday 9 May 2018

RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM.

A. RIBA
1) Pengertian
Riba ( ﺑﺮﻟا) menurut bahasa bermakna ziyadah (ةد ﯾﺰﻟا) dan fadhl (ﻞﻀ ﻔﻟا) yang berarti tambahan. Dalam pengertian lain, secara bahasa, riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Adapun istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. 13 Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah  yang  menegaskan  bahwa  riba  adalah pengambilan tambahan,  baik dalam  transaksi  jual beli maupun  pinjam- meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Mengenai pendapat ini, Allah Swt., mengingatkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil…(QS. An-Nisâ’/4: 29)
Kaitannya  dengan  pengertian  al-Bâthil dalam  ayat tersebut, Ibnu al-‘Arabi  al-Maliki  dalam  kitabnya, Ahkâm  al-Qurân, menjelaskan;  “Pengertian riba  secara  bahasa  adalah  tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat al-Qurân, yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah”
Yang dimksud beliau dengan transaksi pengganti adalah transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam  transaksi sewa misalnya, si penyewa membayar sejumlah upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan penyewa.
Lebih lanjut Anwar menjelaskan pada contoh transaksi pinjam meminjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil  tambahan  dalam bentuk  bunga tanpa adanya transaksi  penyeimbang  yang diterima  si peminjam  kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam  diwajibkan untuk  selalu, dan tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian  juga  dana  itu  tidak  akan berkembang  dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakannya, bisa saja untung dan bisa rugi. Inilah yang menjadi hikmah dilarangnya transaksi riba,  agar  perekonomian  manusia  berjalan  sesuai dengan realitas manusia itu sendiri.
2) Pelarangan Riba dalam al-Qurân dan Hadis
Dasar  pelarangan riba yang terdapat dalam al-Qurân  tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam tahapan- tahapan. Hikmah  yang terkandung dibalik tahapan-tahapan pelarangan riba ini menurut Abu Sura’i guru besar Fakultas Syari’ah Riyadh University15, bahwa supaya kita dapat mengetahui metode yang ditempuh al-Qurân dalam mengharamkan riba, cara yang ditempuhnya adalah bertahap dengan maksud membimbing  manusia secara mudah dan lemah  lembut  dalam mengalihkan kebiasaan mereka yang sudah berakar, seperti riba dan minuman keras.
Lebih lanjut menurutnya ada beberapa tahapan dalam proses turunnya ayat terkait dengan larangan riba, pertama, diadakan larangan secara temporal, kemudian diadakan secara tuntas. Sebagian orang ada yang keliru di dalam memahami metode al-Qurân  yang bertahap  ini, lalu mereka berpegang kepada ketentuan yang bersifat temporal kemudian mengira bahwa ketentuan itu sudah bersifat final, kemudian mereka jadikan sebagai   dasar   berpendapat   yang   terkadang   menyalahi petunjuk-petunjuk pada ayat yang lain yang datang pada tahap berikutnya. Ada empat ayat yang menetapkan larangan riba, salah satunya turun di Mekkah dan tiga lainnya di Madinah. Sejalan  dengan pendapat Wahbah  Zuhaily  bahwa, dasar pelarangan riba yang terdapat dalam al-Qur’ân tidak diturunkan  sekaligus, melainkan  diturunkan  dalam  empat tahap16. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa riba yang zhahirnya seolah-olah menolong  mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan  mendekati  atau taqarrub kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah surat al-Rum: 39 : "Dan, suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)" (al-Rûm/30: 39).
Madlul dari ayat di atas belum menunjukkan keharaman riba. Allah  SWT. hanya  menerangkan  bahwa  riba  yang  akan menambah  pada harta manusia, tidak akan bertambah  di hadapan Allah  SWT. Hal  ini berbeda dengan harta yang dikeluarkan shadaqahnya. Dalam  konteks  ini  Allah  SWT memberikan berkah-Nya dan akan melipat gandakannya.
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberikan balasan yang keras kepada orang  Yahudi  yang  memakan  riba. Sebagaimana firman Allah al-Nisâ' : 160-161 : "Maka, disebabkan  kezaliman  orang-orang  yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulu) dihalalkan bagi mereka, karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan  harta orang dengan jalan yang batil. Kami menyediakan untuk orang-orang yang kafir  di  antara  mereka  itu  siksa yang  pedih." (al- Nisa'/4: 160-161)
Madlul dari ayat di atas, Allah  menjelaskan bahwa riba itu adalah sesuatu yang buruk. Dan ayat di atas belum menunjukkan keharaman riba. Menurut Abu Sura’i, ayat ini hanya   bertujuan   untuk   membangkitkan   perhatian  dan mempersiapkan  mental  kaum  Muslimin  untuk  menerima adanya ide larangan riba. Khususnya larangan riba ini sudah pernah terdapat pada agama Yahudi. Maka tidak diragukan lagi setiap orang  yang mengikuti  metode  al-Qur’ân  dalam menetapkan  larangan secara bertahap akan memperkirakan bahwa akan turun ayat berikutnya yang menyatakan haram. Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan  yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masatersebut. Allah berfirman dalam surat Ali Imran : 130 : "Hai  orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. "(Ali Imrân/3: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, surah Ali Imran: 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda  saja, akan  tetapi  jika  dipahami  dan  dicermati  ayat tersebut  termasuk  mengaitkannya  dengan  ayat-ayat  riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase- fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan  bahwa riba dalam  segala bentuk  dan jenisnya mutlak diharamkan. Bila kita telah sampai pada prinsip ini, maka  kita dapat mengatakan  bahwa pada hakikatnya riba disini  bukan  semata-mata  bersifat  suatu  peristiwa  dalam sejarah  yang  pernah  terjadi  di  Jazirah  Arab  dan  yang merupakan sasaran larangan itu sendiri, akan tetapi ia adalah suatu kebiasaan dalam sistem transaksi yang dibenci, walaupun betapa  kecil  nilainya.  Transaksi   riba  bukan  merupakan tindakan terpisah dan sederhana, namun merupakan transaksi yang  sifatnya  disatu  pihak  berulang  kali  dan  pihak  lain menimbulkan     akibat-akibat    berantai    sejalan    dengan perkembangan waktu dan menimbulkan perlipat gandaan. Menurut Antonio Syafi’i17  bahwa kriteria berganda ini harus dipahami  sebagai hal (لﺎ ﺣ) atau sifat riba, dan sama sekali bukan merupakan syarat.
Menanggapi hal ini, Dr.  Abdullah  Draz, dalam salah satu konferensi fikih Islami  di Paris  tahun  1978,  menegaskan kerapuhan  asumsi  syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik (ﻒﻌ ﺿ) arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 12 kali lebih  besar  dari  semula,  sedangkan  (ف ﺎﻌ ﺿأ)  adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal  jamak adalah 3. Dengan  demikian (ﺎ ﻓ ﺎﻌ ﺿأ)  berarti 3X2= 6 kali. Adapun (ﺎﻔﻋﺎﻀﻣ) dalam konteks ayat ini adalah sebagai ta’kid (ﺪ ﯿﻛ ْﺎ ﺘﻠﻟ) untuk  penguatan. Dengan  demikian, lebih lanjut menurutnya bahwa, kalau berlipat ganda dijadikan syarat maka selaras dengan konsekuensi bahasa, minimum  harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.18  Sedangkan ketetapan dalam QS. 2:278 menyatakan: Artinya:  ”…dan tinggalkanlah sisa-sisa riba…”,   adalah  jelas menyatakan bahwa riba itu asalnya haram, tanpa dijelaskan batas dan sifatnya.
Tahap   terakhir,   Allah   SWT  dengan   jelas   dan   tegas mengharamkan  apapun jenis tambahan  yang diambil dari pinjaman.   Ini   adalah   ayat   terakhir   yang   diturunkan menyangkut riba. "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketauhilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu  bertaubat  (dari pengambilan  riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (al-Baqarah/2: 278-279)
Madlul dari ayat di atas adalah tingggalkan riba walaupun sedikit adanya. Apabila tidak ditinggalkan, maka Allah dan Rasulnya yang akan memerangi. Bentuk taubat dari orang yang melakukan riba adalah “bagimu pokok-pokok hartamu“,  artinya tidak ada tambahan sedikitpun. Karena dalam riba ada unsur saling menzhalimi dan eksploitasi harta dengan jalan bathil.
Ada  beberapa Hadis  yang melarang  penggunaan riba, di dalam amanat terakhir terakir Rasulullah Saw, pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, rasulullah Saw masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap  Tuhanmu dan dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal  (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.” (HR. Muslim)
Selain itu masih banyak lagi hadis yang menguraikan masalah riba. Akan  tetapi penulis hanya ingin memaparkan  Hadis Shahih dan memusatkan pada beberapa riwayat yang paling sah, di antaranya, Dari  Ubadah  bin  sha’id, dari Nabi  saw., sabdanya: ”Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, kalau sama macamnya dan sama bentuknya (adalah) riba. Tapi bila berlainan jenisnya maka lakukanlah jual beli jika kamu menghendakinya selama dengan kontan”, (HR. Muslim)
“Jabir berkata bahwa Rasulullah Saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya,  dan dua orang  saksi-nya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim)
Inilah  sekumpulan  hadis yang menyatakan haramnya  riba. Masih banyak Hadis lainnya yang menegaskan besarnya dosa yang dilakukan oleh pelaku riba. Hadis yang lain juga berbicara tentang jual beli, juga membahas tentang haramnya riba Jahiliyah dan sebagain tentang riba Nasi’ah, untuk lebih detail akan dibahas dalam macam-macam riba.
3)  Sebab turunnya ayat-ayat riba

Sebelum melangkah pada pembahasan macam-macam riba, maka penulis akan memaparkan terlebih dahulu tentang kronologis turunnya ayat-ayat berkaitan dengan pelarangan riba.  Ketetapan al-Qur’ân  akan  bisa  kita  fahami  melalui pengetahuan mengenai situasi dan kondisi sebab kronologis turunnya  ayat. Menurut  pendapat ahli tafsir  dan riwayat- riwayat mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat ini, maka mayoritas  mereka  dapat  kita ketahui  mengatakan  bahwa, bangsa Arab Jahiliyah biasa melakukan transaksi riba, khususnya  kalangan orang  kaya dan  golongan  atas, yang dikenal sabagai kaum pedagang. Konklusi ini penting sekali, karena hal ini dapat membantu kita untuk menegaskan bahwa, transaksi riba sudah berlaku dalam usaha produktif seperti pertanian maupun  perdagangan, para pedagang ini menjadi debitur maupun kreditur.
Menurut  Abu  Sura’i  bahwa Salah satu suku Arab  yang menjalankan riba adalah suku Tsaqif  dari Bani Mughirah. Kemudian  terjadi  perselisihan diantara  mereka  tentang pembayaran riba yang tertunda oleh Bani Makhzum  (Bani Mughirah)  di Mekkah  dengan  alasan karena Islam  telah mengharamkan  riba, tatkala kedua pihak ini bersengketa, mereka mengadukan perkaranya kepada ‘Utban  bin Usaid yang menjabat gubernur Mekkah pada saat itu. Lalu Utban mengirim surat kepada Nabi memberitahukan perihal perselisihan ini. Kemudian turunlah ayat riba dan Rasulullah Saw membalas surat Utban tersebut, kemudian Utban membacakan  ayat ini dihadapan pihak yang berselisih dan kemudian bani Tsaqif menghentikan tuntutannya untuk meminta riba. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ayat ini turun dengan kaitan kasus Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, dua orang yang berkongsi usaha pada zaman Jahiliyah. Riwayat-riwayat tersebut menjelaskan jenis hutang dan cara pemanfaatannya yang berlaku yaitu untuk dikembangkan  dan diperdagangkan, sehingga memberikan gambaran  jelas bahwa pinjaman  riba tidak hanya terbatas dalam kredit konsumtif, tetapi sebagian besarnya kalau tidak dikatakan seluruhnya bersifat kredit pengembangan (produktif), khususnya pada masyarakat Arab yang senantiasa berlomba dengan kedermawanan, murah hati dan harga diri. Sedangkan bagi bangsa Arab  adalah hal yang tidak terpuji kalau orang kaya memanfaatkan  kesempitan orang melarat untuk memungut riba.
Menurut hemat penulis, maka tidaklah benar kalau pengharaman riba tersebut hanya untuk kredit konsumtif, jika kita telah megetahui  bahwa sebahagian besar kredit yang dikeluarkan pada waktu itu bersifat produktif.
4). Macam-macam riba
Di dalam syari’ah, istilah riba secara garis besar di gunakan untuk 2 (dua) pengertian. Pertama adalah riba hutang piutang (نﻮ ﯾ ﺪ ﻟا ﺎ ﺑر)dan   kedua  adalah  riba  jual beli  (عﻮﯿﺒﻟاﺎ ﺑر). Kelompok pertama  terbagi lagi menjadi  ribâ al-qardh dan ribâ al-jâhiliyyah, sedangkan   kelompok   kedua  yaitu  riba  jual  beli terbagi  menjadi  ribâ al-fadhl dan ribâ al-nasi’ah.23  Ulama fikih kebanyakan membagi riba kepada dua jenis yaitu ribâ al-fadhl dan ribâ al-nasi’ah.
a)  Ribâ al-nasî’ah
Istilah nasî'’ah berakar dari asal kata nasa'a yang berarti penangguhan, penundaan, tunggu, merujuk pada waktu yang diizinkan bagi peminjam untuk membayar kembali hutang berikut tambahan atau premi. Dengan demikian riba nasi'ah mengacu pada bunga atas pinjaman. Pelarangan riba nasi'ah mempunyai  pengertian bahwa penetapan  keuntungan  positif  atas  uang  yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti pada dasarnya tidak diizinkan oleh syariah. Tidak  ada perbedaan apakah uang itu dalam persentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus dibayarkan di muka atau dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa yang diterima sebagai syarat peminjaman. Yang menjadi  inti permasalahan  di sini adalah keuntungan positif yang ditetapkan dimuka.
b)  Ribâ al-fadl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran   yang   berbeda,   sedangkan   barang   yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Hikmah  diharamkannya riba  al-fadl adalah  mencegah terjadinya tipu daya manusia yang mana salah satu jenis harta ribawi tersebut dianggap mempunyai  nilai lebih. Maka menukar harta ribawi berkualitas jelek dengan baik yang sejenis diharamkan. Yang bisa di jadikan perbandingan untuk harta ribawi adalah kadar timbangan sesuai dengan adat yang berlaku pada masyarakat tertentu.
5) Riba menjadi bunga
Dalam kosa kata bahasa inggris, riba biasanya diterjemahkan sebagai  usury, sedangkan  bunga  diterjemahkan  sebagai interest.25  Dilarangnya  riba oleh agama-agama samawi, tidak ada yang membantah.  Setidaknya, itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Lihatlah dalam Perjanjian Lama (Leviticus) (imamat) 25:36-37.26  Deuteronomy  (ulangan) 23: 19  Exodus (keluaran) 22:25,  juga dalam Perjanjian Baru (Lukas) 6: 34-35).
Sampai pada abad ke-13, ketika kekuasaan Gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh Gereja atau hukum Canon. Akan  tetapi,  pada  akhir  abad  ke-13,  pengaruh  Gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Bacon, seorang tokoh saat itu, menulis dalam buku Discourse  on  Usury,  “karena  kebutuhannya, manusia  harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan  uang, kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjamaan itu, maka bunga harus diperbolehkan. Secara  perlahan  tapi  pasti,  pelarangan  riba  di  Eropa dihilangkan. Di Inggris, pelarangan itu dicabut pada tahun 1545, saat pemerintahaan Raja  Henry  VIII. Pada zaman itulah,  istilah  usury (riba) diganti  dengan  istilah interest (bunga). Ketika raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh raja Edward VI  yang   membatalkan   kebolehan   bunga.   Ini   tidak berlangsung lama, ketika Erdward VI wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabet I yang kembali membolehkan bunga uang. Lima puluh tahun kemudian, kekuatan Eropa yang sedang demam membolehkan bunga uang, mencapai tanah air kita Indonesia  dengan  bendera  VOC. Awalnya  dengan  dalih berdagang. Setelah  berjalan ratusan tahun, terciptalah citra sampai saat ini  bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang bunga tidak.
Bunga  bank  termasuk  riba nasi’ah. Jadi teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif. Bila si peminjam  dalam bank konvensional apabila nasabah menunggak pembayaran cicilan maka bunganya berlipat-lipat atau istilahnya disebut bunga berbunga. Menurut Murasa Sarkaniputra menguraikan prosedur bunga berbunga berikut ini. Uang A 2010 = uang A 1999 (1 + i) 11 Kita selesaikan persamaan ini dengan menggunakan prosedur logaritma, diperoleh: Log Uang A 2010 = uang A 1999 + log (1 + i) Kita mengetahui bahwa 11 menunjukkan tenggang waktu ketika seseorang menyimpan  uangnya di suatu bank, dan  menginginkan  tambahan  yang  selama  11 tahun  dengan tingkat bunga tertentu (1 persen). Bila kita sebutkan bahwa tingkat bunga i adalah operator dan 11 adalah waiting time (kata Marshall) karena seeorang telah berkorban sekian lama, maka persamaan di atas valid apabila bunga bank tidak dilarang.
Pendekatan statistik menawarkan lain dari ini. Yakni, karena waktu adalah milik Allah dan tambahan untuk uang yang disimpan adalah haram hukumnya, karena uang yang diibaratkan sebagai ayam betina yang   tidak bertelur dan hanya sebagai alat tukar serta store value, maka manfaat uang di bank adalah hasil dari investasi yang dikerjakan masyarakat bisnis. Baru  ketika bisnis memperoleh  laba tertentu, para penabung dan investor sama-sama memperoleh bagian dari hasil kerja masyarakat dunia bisnis itu. Di sini ada delay bagi sang penabung dan investor, karena menunggu hasil kerjasama usahanya, maka delay diisi dengan do'a. Oleh karena itu, tingkat bunga dinolkan, sehingga persamaan diatas menjadi: Log uang A 2010 = uang A 1999 + 11 . log (1 + 0) Karena log 1 = 0, maka uang A 2010 = uang A 1999. Hanya jika uang itu diinvestasikan, yang berarti menyerap tenaga kerja, maka pihak deposan memperoleh bagian hasil dari tabungannya. Pernyataan ini sesuai dengan pemikiran al-Ghozali dan sekaligus sebagai penafsiran lain dari "centimeter, gram, second" (cgs)-nya Newton.  Apabila fenomena ini benar, maka apa yang harus disiapkan oleh setiap diri manusia agar ia mampu berjuang dengan paradigma baru.

B. BAGI HASIL DAN KEUNGGULANNYA
Bagi hasil (profit and loss sharing) memiliki pengertian berbagi rugi dan berbagi untung, atau dalam bahasa arabnya adalah mudharobah. Sistem  bagi hasil diharapkan satu alternatif yang dapat dipilih untuk menghadapi gejolak krisis moneter dan ekonomi tanpa riba diperkira-kan   mampu    menghadapi   krisis   ekonomi   yang menghantam  Indonesia  sejak  tahun  1997.  Sejak  tahun itu, puluhan bank gulung tikar. Bahkan, bank-bank raksasa seperti BCA, Danamon dan Lippo pun morat-marit. Untung saja ada rekapitulasi, kalau tidak, maka bank-bank itu pun bisa dilikuidasi. Kemampuan  bank  syariah bertahan  dan  bahkan  mencatat kemajuan, diasumsikan karena bank syariah menggunakan sistem bagi hasil. Bank syariah tidak dibebani membayar bunga simpanan.  Jika bank  syariah meraih  keuntungan  besar, maka banyak pula jumlah bagi hasil yang diberikan kepada nasabah. Sebaliknya, jika sedikit keuntungan bank, karena krisis misalnya, maka sedikit pula bagi hasil yang diberikan kepada penyimpan, sesuai dengan nisbah yang disepakati. Dengan sistem bagi hasil, maka jelas bank-bank  syariah selamat dari negatif spread  ketika terjadi gejolak moneter.
Sebagaimana yang telah disebut dimuka bahwa inti dari ekonomi syariah adalah merubah sistem riba menjadi bagi hasil.  Dalam  bahasa Inggris  bagi hasil adalah profit and  loss sharing. Prinsip bagi hasil dalam Islam dapat dilakukan dalam 4 akad, yaitu musyarokah,  mudharobah,  muzaro'ah, dan   musaqoh. Akan  tetapi prinsip yang paling banyak dipakai adalah musyarakah dan mudharobah,  sedangkan muzaro'ah dan  musaqoh dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Hikmah   dari  prinsip  bagi  hasil  ini,  paling  tidak  kita  tidak dipengaruhi oleh suku bunga di dalam negeri dan di luar negri. Dasar Hadis tentang perintah mudharobah adalah  sebagai berikut: Dari  Shalih  bin  Shuhaib  ra.  dari  bapaknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tangguh, muqâradah (mudhârobah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR. Ibnu Majah)

logoblog

Thanks for reading Ruang Lingkup Ekonomi Islam

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment

Contoh Soal PLH Kelas VIII

SOAL PLH KELAS VIII PENGHIJAUAN LINGKUNGAN Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar, dengan memberikan tanda silang (X) pad...

close