ADAT ISTIADAT SUKU BADUY
Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka
dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah
(nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy
yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang
Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang
Cibeo (Garna, 1993 ).
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu
kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah
satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga
memiliki keyakinan tabu untuk difoto.
Pembagian Kelompok Masyarakat Suku
Baduy
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah
dengan orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh
asing dan mayoritas memeluk Islam.Masyarakat Kanekes secara umum terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang
dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy
Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI).
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang
Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh
adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian
peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
§ Tidak diperkenankan
menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
§ Tidak diperkenankan
menggunakan alas kaki
§ Pintu rumah harus menghadap
ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
§ Larangan menggunakan alat
elektronik (teknologi)
§ Menggunakan kain berwarna
hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak
diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah
mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar),
yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes
Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar
dari adat dan wilayah Kanekes
Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke
Kanekes Luar:
§ Mereka telah melanggar adat
masyarakat Kanekes Dalam.
§ Berkeinginan untuk keluar
dari Kanekes Dalam
§ Menikah dengan anggota
Kanekes Luar
Ciri-ciri
masyarakat orang Kanekes Luar
§ Mereka telah mengenal
teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan
larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka
menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak
ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
§ Proses pembangunan rumah
penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu,
paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
§ Menggunakan pakaian adat
dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa
mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan
celana jeans.
§ Menggunakan peralatan rumah
tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
§ Mereka tinggal di luar
wilayah Kanekes Dalam.
Apabila Kanekes
Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Asal Usul Kebudayaan Suku Baduy
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes
mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara
yang diutus ke bumi. Asal
usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang
pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga
Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni
dunia.
Pendapat
mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita
rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat
Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan
Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan
Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang
sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit
di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang
khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Van
Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna,
1993b: 146).
Orang
Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari
orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut
Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat
yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau
nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitanasli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan
Darmasiksa.
Mata Pencaharian
Suku Baduy
Mata pencarian
masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun
serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren,
tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Kepercayaan
yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada
semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan
Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat
ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah
suku Baduy sendiri.
Inti dari
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting
dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan
apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:“Lojor heunteu beunang dipotong,
pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak
bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)suku Baduy
memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang
disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan
dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki
fungsi dan tugasnya masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu
bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai
macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara
tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka
berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut
sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro
tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara
masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu
oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampong.
Hukum di Dalam Masyarakat Baduy
Hukuman
disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat
dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke
dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua
atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat
diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran
yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke
dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari.
Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau
berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan
para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan
aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya,
yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai
mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian
ala orang kota.
Banyak
larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh
bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian
dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga
mewah dan beristri lebih dari satu.
Segi Pakaian Suku Baduy
Dari segi
berpakain, didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana yang
didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy
Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang
yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai
kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah
serba putih.
Untuk
bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya
dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy
menggunakan ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang
mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna
biru tua dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana
Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya
luar. Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam
maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka
mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai
dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka
secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup
ADAT ISTIADAT PERKAWINAN BUGIS BONE
A. Tahap – Tahap Kegiatan Perkawinan Adat Masyarakat Bugis Bone
Dalam upacara
perkawinan adat masyarakat Bugis Bone yang disebut ”Appabottingeng ri
Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Kegiatan-kegiatan
tersebut merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar
menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada masyarakat Bugis Bone yang
betul-betul masih memelihara adat istiadat.Pada masyarakat Bugis Bone sekarang
ini masih kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang
sewajarnya dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna,
diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi,
dan hubungan antar dua keluarga tidak retak.
Kegiatan – kegiatan tersebut
meliputi :
1. Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu
proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya melihat dan memantau
dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan). Maksudnya calon mempelai
laki-laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara bertamu dirumah calon
mempelai perempuan, apabila dianggap layak, maka akan dilakukan langkah
selanjutnya.
2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang
ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena mayoritas
calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-betul
dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab oleh calon
mempelai laki-laki.
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang
yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang datang
mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama dan
kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si
perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada
keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta
Mallino (duta resmi)
4. Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi Duta
Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki kerumah perempuan untuk
menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya
pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
Pada acara ini
pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga terdekatnya serta
orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran pada waktu
pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang, kemudian
dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah
pembicaraan antara To Madduta dengan To Riaddutai, kemudian pihak
perempuan pertama mengangkat bicara,lalu pihak pria menguitarakan maksud
kedatangannya.
Apa bila pihak
perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu adatta, srokni
tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila demiokian tekad tuan,
kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau dengan kata lain
pihak perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan pembicaraan selanjutnya yaitu
Mappasiarekkeng.
5. Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut dengan Mappettuada maksudnya
kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan
pembicaraan yang dirintis sebelumnya.Dalam acara ini akan dirundingkan dan
diputuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain
:
a. Tanra esso (penentuan hari)
b. Balanca (Uang belanja)/ menre doi (uang naik)
c. Sompa (emas kawin) dan
lain-lain
Setelah
acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin disuguhi hidangan
yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pad umumnya manis-manis agar hidup
calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian hari.
B. Upacara Sebelum Akad
Perkawinan
Sejak tercapainya kata sepakat, maka
kedua belah pihak keluarga sudah dalam kesibukan. Makin tinggi status sosial
dari keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam
persiapan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan kepada
seluruk sanak keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang
wanita dengan menggunakan pakaian adat. Perawatan dan perhatian akan diberikan
kepada calon pengantin . biasanya tiga malam berturut-turt sebelum hari
pernikahan calon pengantin Mappasau (mandi uap), calon pengantin memakai
bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai hangus yang
dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara Mappasau, calon
pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni.
Mappaccing berasal dari kata Paccing
yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara
simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada
malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”. Melaksanakan
upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang
suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan
segalanya, termasuk : Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa
(bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan),
Mappaccing Ateka (bersih itikat).
Orang-orang yang diminta untuk
meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya
kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula
hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.
Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat
stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi
jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk golongan menengah 2 x 7
orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7
orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam
jumlah orang yang akan melakukan acara ini. A’barumbung (mappesau) Acara mandi
uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita. Appasili Bunting (Cemme
Mapepaccing).
Kegiatan tata upacara ini terdiri
dari appasili bunting, a’bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting
ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini
dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua
mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan
dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini
dilanjutkan dengan Macceko/A’bubu atau mencukur rambut halus di sekitar dahi
yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau
hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat
dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau
suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon
mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa
tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon
suami si calon mempelai wanita.
Prosesi
Acara Appassili :
Sebelum dimandikan, calon mempelai
terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di
depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di
bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat)
orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon
mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali
oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta
orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan
pasang.
Tata cara pelaksanaan siraman adalah
air dari pammaja/gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga
dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir
di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat
untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman
diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan
mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon
mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.
A’bubbu’
(Macceko)
Setelah berganti pakaian, calon
mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo,
tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta assesories lainnya. Prosesi
acara A’bubbu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus
yang terdapat di ubun-ubun atau alis.
Appakanre
bunting
Appakanre bunting artinya menyuapi
calon mempelai dengan makan berupa kue - kue khas tradisional bugis makassar,
seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya, Onde - onde/ Umba - umba, Bolu
peca dan lain - lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah
besar yang disebut bosara lompo.
Akkorongtigi/Mappaci
Upacara ini
merupakan ritual pemakaian daun pacar ke tangan si calon mempelai. Daun pacar
memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya
diadakan malam pacar atau Wenni Mappaci (Bugis) atau Akkorontigi (Makassar)
yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke
tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah
orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga
langgeng dan bahagia. Malam mappaci dilakukan menjelang upacara pernikahan dan
diadakan di rumah masing-masing calon mempelai. Acara Akkorontigi/Mappacci
merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak
keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi memiliki hikmah
yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan
batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam
menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
Perlengkapannya:
1. Pelaminan (Lamming).
2. Bantal.
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar
yang diletakkan di atas bantal.
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang).
5. Leko Panasa (Daun
nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang
secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar
secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah
semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar)
yang ditumbuk halus.
yang ditumbuk halus.
7. Benno’ (Bente), adalah butiran beras
yang digoreng tanpa menggunakan minyak
hingga mekar
hingga mekar
8. Unti Te’ne (Pisang Raja).
9. Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan).
10. Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
Setelah prosesi mappacci selesai,
keesokan harinya mempelai laki-laki diantar kerumah mempelai wanita untuk
melaksanakan akad nikah (kalau belum melakukan akad nikah). Karena pada
masyarakat Bugis Bone kadang melaksanakan akad nikah sebelum acara
perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah Kawissoro. Kalau sudah melaksanakan
Kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara Mappasilukang dan Makkarawa
yang dipimpin oleh Indo Botting.
Upacara akad nikah Appanai’ Leko
Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong (Akad Nikah).Kegiatan ini
dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah ditata dengan
indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan melaksanakan prosesi
acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon mempelai.
Beberapa persiapan yang dilakukan
oleh kedua belah pihak keluarga:
Keluarga
Calon Mempelai Wanita (CPW)
1. Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan
memegang Lola menuntun CPP
memasuki rumah CPW.
memasuki rumah CPW.
2. Seorang ibu yang bertugas menaburkan
Bente (benno) ke CPP saat memasuki
gerbang kediaman CPW.
gerbang kediaman CPW.
3. Penerima erang-erang atau seserahan.
4. Penerima tamu.
Keluarga
Calon Mempelai Pria (CPP)
1. Petugas pembawa leko’ lompo
(seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:
a. Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang
bertugas membawa bosara atau
keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
b. Petugas pembawa panca terdiri dari 4
orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan
kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1
buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, Dsb
kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1
buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, Dsb
2. Perangkat adat, yang terdiri dari:
a. Seorang laki-laki pembawa tombak.
b. Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.
c. Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang
(mahar).
d. Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung
persegi empat).
e. Seorang anak laki-laki bertugas sebagai
passappi bunting.
3. Calon mempelai Pria
4. Rombongan orang tua
5. Rombangan saudara kandung
6. Rombongan sanak keluarga
7. Rombongan undangan.
Prosesi
acara Assimorong:
Setelah CPP beserta rombongan tiba
di sekitar kediaman CPP, seluruh rombongan diatur sesuai susunan barisan yang
telah ditetapkan. Ketika CPP telah siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW
datang menjemput dengan mengapit CPP dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju
gerbang kediaman CPW. Saat tiba di gerbang halaman, CPP disiram dengan
Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga CPW. Kemudian dilanjutkan
dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau
erang-erang. Setelah itu CPP beserta rombongan memasuki kediaman CPW untuk
dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan
permohonan ijin CPW kepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya
dilakukan dengan prosesi Ijab dan Qobul.
Setelah acara akad nikah
dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung
prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan dengan appadongko
nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada
mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk
melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak
keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin
kawin, nasehat perkawinan, dan doa.
C. Upacara Setelah Akad Perkawinan
Setelah akad perkawinan berlangsung,
biasanya biadakan acara resepsi (walimah) dimana semua tamu undangan hadir
untuk memberikan doa restu dan sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua
mempelai agar mereka tidak berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua
mempelai bermesraan.
Pada acara resepsi tersebut dikenal
juga yang namanya Ana Botting, hal ini dinilai mempunyai andil sehingga
merupakan sesuatu yang tidak terpisakhkan pada masyarakat bugis bone.
Sebenarnya pada masyarakat Bugis Bone, ana botting tidak dikenal dalam sejarah,
dalam setiap perkawinan kedua mempelai diapit oleh Balibotting dan Passepik,
mereka bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan.
Ana Botting dalam perkawinan
merupakan perilaku sosial yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan
ciri khas kebudayaan orang Bugis pada umumnya dan orang Bugis pada khususnya,
karena kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan yang meliputi
cara-cara berlaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil kegiatan manusia
yang khas untuk suatu masyarakat aatu kelompok penduduk tertentu. Oleh karena
itu, Ana Botting merupakan kegiatan (perilaku) manusia yang dilaksanakan
oleh masyarakat Bugis Bone pada saat dilangsungkan perkawinan.
Assimorong/Menre’kawing
Acara ini merupakan acara akad nikah
dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon
mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong
(Makasar) atau Menre’kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan
dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka
rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo
(seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.
Appabajikang
Bunting
Prosesi ini merupakan prosesi
menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke
kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar, pintu menuju kamar mempelai
wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara
pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah
mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling
menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti
beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu
oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah
diterima oleh keluarga mempelai wanita.
Alleka
bunting (marolla)
Acara ini sering disebut sebagai
acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani
beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria.
Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria.
Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan
saudara-saudarany
ADAT SITIADAT SUKU DAYAK
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup
berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak
itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke
Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak,
sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah
“Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah
berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
- Upacara Tiwah
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
- Dunia Supranatural
- Mangkok merah.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN
Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.
SENI TARI DAYAK
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).a kita memanfaatkan dan mengelolanya.
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
Senjata Sukubangsa Dayak
- Sipet /
Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan
berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang
dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak
sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang
diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan
telep adalah tempat anak sumpitan.
- Lonjo /
Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman
rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
- Telawang
/ Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1
– 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan
dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
- Mandau.
Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap
keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk
tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung,
ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung
atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau
Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai
nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan
yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah
lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu
Montalat.
- Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar
dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya
dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku,
Demang, Basir.
Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti
Sukubangsa Dayak
- Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah
dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
- Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar
salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
- Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam
bahaya.
- Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi
kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh
suku akan mendapat bahaya.
- Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
- Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang
telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang
meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak
keluarga, nama korban tidak disebutkan.
- Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang
anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
- Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk
menjual belanga, tempayan tajau.
- Daun sawang/jenjuang yang digaris dan digantung di depan
rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut
karena adanya pantangan adat.
- Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat,
rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan
kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.
Anda pernah berburu? Atau justru Anda memang mempunyai hobi berburu? Bagaimana cara Anda berburu? Menunggu binatang buruan dan tembak langsung?
Suku Dayak yang hidup merambah di hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu binatang. Salah satunya yang saya temui pada suatu kesempatan ekspedisi ke Kalimantan Timur, tepatnya di desa Long Loreh Kabupaten Tarakan.
Untuk berburu mereka tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka. Caranya?
Caranya tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa begitu? “Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan pertolongan” demikian keterangan yang saya peroleh dari seorang pemburu disana.
Bagaimana dengan binatang lainnya? Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah menjadi target buruan. “Rasanya seperti makan daging manusia” demikian alasan mereka.
Memanggil (tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung tersebut yang mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira begitu.
Alat berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang, biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau bahkan mematikan.
Selama berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal yang bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.
No comments:
Post a Comment