MANUSIA
PURBA DI INDONESIA
Indonesia termasuk salah satu negara tempat ditemukannya
manusia purba. Penemuan manusia purba di
Indonesia dapat dilakukan berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan. Fosil
adalah tulang belulang, baik binatang maupun manusia, yang hidup pada zaman
purba yang usianya sekitar ratusan atau ribuan tahun. Adapun untuk mengetahui
bagaimana kehidupan manusia
purba pada saat itu, yaitu dengan cara mempelajari
benda-benda peninggalannya yang biasa disebut dengan artefak.
Manusia purba yang ditemukan di Indonesia memiliki usia
yang sudah tua, hamper sama dengan manusia purba yang ditemukan di
negara-negara lainnya di dunia. Bahkan Indonesia dapat dikatakan mewakili
penemuan manusia purba di daratan Asia. Daerah penemuan manusia purba di
Indonesia tersebar di beberapa tempat, khususnya di Jawa.
Penemuan fosil manusia purba di Indonesia terdapat pada lapisan
pleistosen. Salah satu jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia
hampir memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di Peking Cina, yaitu jenis Pithecanthropus
Erectus.
Perhatikanlah tiga landasan teori yang dikemukakan oleh
Dubois. Pertama, seperti halnya dengan
Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia berasal dari daerah tropika. Hal
ini berkaitan dengan berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba yang hanya
dapat ditoleransi di daerah tropika yang hangat. Kedua, Dubois mencatat
bahwa dalam dunia binatang, pada umumnya mereka tinggal di daerah geografi yang
sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi, binatang yang paling mirip
dengan manusia ialah kera besar. Sehingga nenek moyang kera besar diduga
mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) yang dekat dengan manusia.
Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man (1871) mengatakan,
manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan simpanse.
Dalam hal ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia Tenggara
merupakan asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang. Menurut Dubois,
juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell, orangutan
dan siamang lebih dekat hubungannya dengan manusia dibanding gorilla dan
simpanse. Alasan ketiga, Dubois mengikuti perkembangan penemuan fosil
rahang atas dari sejenis kera seperti manusia yang ditemukan di Bukit Siwalik,
India pada tahun 1878. Kalau di India ditemukan fosil semacam itu, maka terbuka
kemungkinan penemuan fosil selanjutnya di Jawa.
G.H.R von Koenigswald mengadakan
penelitian dari tahun 1936 sampai 1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo.
Pada tahun 1936 Koenigswald menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat
Mojokerto. Dari gigi tengkorak tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum
melebihi 5 tahun. Kemungkinan tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari
Pithecanthropus Erectus, tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo
Mojokertensis.
Pada tahun-tahun selanjutnya, von Koenigswald banyak
menemukan bekas-bekas manusia prasejarah, di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus
lainnya. Di samping itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang
menyusui. Berdasarkan atas fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi
diluvium Lembah Sungai Solo (pada umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga
lapisan, yaitu lapisan Jetis (pleistosen bawah), di atasnya terletak
lapisan Trinil (pleistosen tengah) dan paling atas ialah lapisan
Ngandong (pleistosen atas).
Pada setiap lapisan itu ditemukan jenis manusia purba. Pithecanthropus
Erectus penemuan E. Dubois terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan
pleistosen tengah. Pithecanthropus lainnya ada yang di pleistosen tengah
dan ada yang di pleistosen bawah. Di plestosen bawah terdapat fosil manusia purba
yang lebih besar dan kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus, dan
dinamakan Pithecanthropus Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah terdapat
pula Homo Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus Mojokertensis.
Jenis Pithecanthropus memiliki tengkorak yang tonjolan keningnya
tebal. Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol. Mereka hidup
antara 2 setengah sampai 1 setengah juta tahun yang lalu. Hidupnya dengan
memakan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pithecanthropus masih hidup berburu
dan mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai memasak, sehingga makanan dimakan
tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian mereka masih tinggal di padang terbuka,
dan ada yang tewas dimakan binatang buas. Oleh karenanya, mereka selalu hidup
secara berkelompok.
Pada tahun 1941, von Koeningwald di dekat Sangiran
Lembah Sungai Solo juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih
besar dan kuat dari rahang Pithecanthropus. Geraham-gerahamnya
menunjukkan corak-corak kemanusiaan, tetapi banyak pula sifat keranya. Tidak
ada dagunya. Von Koeningwald menganggap makhluk ini lebih tua daripada Pithecanthropus.
Makhluk ini ia beri nama Meganthropus Paleojavanicus (mega = besar),
karena bentuk tubuhnya yang lebih besar. Diperkirakan hidup pada 2 juta sampai
satu juta tahun yang lalu.
Von Koenigswald dan Wedenreich kembali menemukan sebelas
fosil tengkorak pada tahun 1931-1934 di
dekat Desa Ngandong Lembah BengawanSolo. Sebagian dari jumlah itu telah hancur,
tetapi ada beberapa yang dapat
memberikan informasi bagi penelitiannya. Pada semua tengkorak itu, tidak ada
lagi tulang rahang dan giginya. Von Koeningswald menilai hasil temuannya ini
merupakan fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya daripada Pithecanthropus
Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai manusia. Makhluk ini oleh von
Koeningswald disebut Homo Soloensis (manusia dari Solo).
Pada tahun 1899 ditemukan sebuah tengkorak di dekat
Wajak sebuah desa yang tak jauh dari
Tulungagung, Kediri. Tengkorak ini ini disebut Homo Wajakensis. Jenis
manusia purba ini tinggi tubuhnya antara 130 – 210 cm, dengan berat badan
kira-kira 30 – 150 kg. Mukanya lebar dengan hidung yang masih lebar, mulutnya
masih menonjol. Dahinya masih menonjol, walaupun tidak seperti Pithecanthropus.
Manusia ini hidup antara 25.000 sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di
Asia Tenggara juga terdapat jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di
Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini
dibandingkan jenis sebelumnya sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat
alat-alat dari batu maupun tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar
dan menangkap binatang buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang
buruannya setelah dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan
dengan cara dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini
menunjukkan adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan
jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak
penduduk asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak penduduk
asli benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis termasuk
dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan
nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia.
Penyebaran
Manusia Purba Di Indonesia
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa lingkungan
alam bumi ini terus mengalami perubahan. Pada kala pleistosen, di bumi terjadi
empat kali masa glasial dan tiga kali masa interglasial. Pada zaman glasial,
suhu bumi makin dingin sehingga sebagian besar belahan bumi utara dan selatan
tertutup oleh lapisan es tebal. Permukaan air laut menurun dan laut yang
dangkal ini berubah menjadi daratan. Kondisi demikian memungkinkan bagi manusia
ataupun hewan yang hidup pada masa itu melakukan migrasi. Migrasi atau perpindahan
dari suatu daerah ke daerah lain dilatarbelakangi oleh upaya untuk
mempertahankan hidup. Selain didorong untuk mencari daerah yang lebih nyaman
dan hangat, perpindahan dilakukan juga untuk mencari daerahdaerah yang masih
sangat kaya akan sumber makanan. Kita ingat bahwa pada masa itu manusia sangat
tergantung pada alam.
Dengan keterbatasan pemikiran dan kemampuan, mereka
menyandarkan hidup sepenuhnya pada alam. Apabila alam tempatnya hidup sudah
tidak lagi menyediakan sumber makanan, maka mereka berpindah ke tempat yang
masih kaya akan sumber makanan. Manusia pada masa ini masih bersifat food
gathering yang artinya kemampuannya hanya terbatas pada mengumpulkan bahan
makanan yang tersedia di alam dan belum pada taraf food producing, yaitu
kemampuan
untuk mengolah alam sehingga menghasilkan sumber makanan
atau dalam hal ini kemampuan bercocok tanam.
Para ahli geologi memperkirakan bahwa pada kala
pleistosen khususnya ketika terjadinya glasiasi, Kepulauan Nusantara ini
bersatu dengan daratan Asia. Laut dangkal yang ada di antara pulau-pulau di
Nusantara bagian barat surut sehingga membentuk paparan yang disebut dengan
Paparan Sunda yang menyatukan Indonesia bagian barat dengan daratan Asia. Hal
yang sama juga terjadi di Indonesia bagian timur. Di
daerah ini terbentuk paparan yang kemudian dinamakan Paparan Sahul yang
menyatukan Indonesia bagian timur dengan daratan Australia. Adanya Paparan
Sunda memungkinkan terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Asia
ke Indonesia bagian barat, atau sebaliknya. Adapun Paparan Sahul memungkinkan
terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Australia ke Indonesia
bagian timur, atau sebaliknya.
Hal di atas dibuktikan dengan hasil kajian yang
dikembangkan oleh Wallace yang menyelidiki tentang persebaran fauna (zoogeografi)
di Kepulauan Indonesia. Fauna yang terdapat di daerah Paparan Sunda, yaitu
daerahdaerah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, mempunyai persamaan dengan fauna
yang terdapat di Daratan Asia. Adapun fauna yang terdapat di daerah Paparan
Sahul, yaitu daerah Papua (Irian) dan sekitarnya mempunyai persamaan dengan
fauna yang terdapat di Australia. Wallace menyimpulkan bahwa Selat
Lombok merupakan garis yang membagi dua jenis daerah zoogeografi di Indonesia.
Di sebelah barat garis tersebut terdapat fauna Asia, sedangkan di timurnya
terdapat fauna Australia. “Garis pemisah” fauna ini kemudian
oleh Huxley diberi nama “garis Wallace”.
Selanjutnya ia kemudian melengkapi dengan menarik garis itu lebih jauh ke arah
utara, yaitu dimulai dari Selat Lombok sampai Selat Makasar dan terus lagi ke
utara melewati selat antara Kepulauan Sangir dan Mindanao (Filipina).
Terhubungnya pulau-pulau akibat pengesan yang terjadi
pada masa glasial memungkinkan terjadinya migrasi manusia dan fauna dari
daratan Asia ke kawasan Nusantara. Berdasarkan hasil penelitian, migrasi ini
didahului oleh perpindahan binatang yang kemudian diikuti oleh manusia dan
diperkirakan terjadi pada kala pleistosen. Sebagai bukti adanya proses migrasi
awal binatang dari daratan Asia ke wilayah Indonesia ialah ditemukannya situs
paleontologi tertua di daerah Bumiayu yang terletak di sebelah selatan Tegal
(Jawa Tengah) dan Rancah di sebelah timur Ciamis (Jawa Barat).
Fosil tersebut, yaitu Mastodon Bumiayuensis (spesies
gajah) dan Rhinoceros Sondaicus (spesies Badak). Bila dibandingkan
dengan fosil binatang di daratan Asia, fosil-fosil tersebut berumur lebih muda
dari fosil-fosil yang terdapat dalam kelompok fauna Siwalik di India. Proses
migrasi yang terjadi pada masa pleistosen ini menyebabkan wilayah Nusantara
mulai dihuni oleh manusia. Timbul pertanyaan tentang asal-usul manusia yang
bermigrasi ke wilayah Nusantara ini. Menilik dari segi fisik manusia Indonesia
sekarang ini, mayoritas dapat dikelompokkan ke dalam ras Mongoloid dan
Austroloid. Para ahli memperkirakan bahwa pada sekitar abad ke-40 sebelum
masehi, Pulau Jawa merupakan daerah pertemuan dari beberapa ras dan daerah
pertemuan kebudayaan.
Ciri-ciri Mongoloid yang terdapat pada manusia
Indonesia, nampaknya disebabkan adanya arus migrasi yang berasal dari daratan
Asia. Kedatangan mereka pada akhirnya menyingkirkan manusia yang sudah hidup
sebelumnya di tanah Nusantara, yaitu dari ras yang disebut Austroloid.
Bangsa pendatang dari Asia ini mempunyai kebudayaan dan tingkat adaptasi yang
lebih baik sebagai pemburu dibandingkan dengan manusia pendahulunya.
Sistem Kepercayaan Awal Manusia Indonesia
1. Kepercayaan kepada nenek moyang
Perkembangan system kepercayaan pada
masyarakat berawal dari berburu dan mengumpulkan makanan. Namun dalam
perkembangannya mereka mulai berdiam lama dan tinggal dalam sutau tempat,misal
goa-goa baik di tepi pantai maupun di pedalaman.Pada goa ditemukan sisa budaya
mereka yang berupa alat kehidupan.kadang juga ditemukan tulang belulang manusia
yang telah dikubur..
Dari hasil penemuan dapat diketahui
bahwa pada masa itu orang punya pandangan tertentu pada kematian.Orang juga
sudah mengenal penghormatn terakhir pada orang yang sudah meninggal. Orang
punya suatu pandangan bahwa hidup tidak berhenti setelah kematian.Orang
meninggal pasti dianggap pergi ke tempat yang lebih baik.Inti kepercayaan pada
roh nenek moyang terus berkembang dari zaman ke zaman dan secara umum dilakukan
tiap masyarakat dunia.
Pada orang meninggal ada sesuatu
yang pergi,sesuatu itu disebut roh.Penguburan kerangka dalam goa termasuk
penghormatan terakhir pada orang meninggal.
Berdasar hasil peninggalan
budaya,sejak masa bercocok tanamberupa bangunan megalitikum dgnfungsi sebagai
tempat pemujaan kepada roh nenek moyang. Disamping itu ditemukan bekal
kubur.Pemberian bekal dimaksudkan sbg bekal menuju alam lain.Jadi pengaruh
Hindu Budha berpengaruh dalam masyarakat Indonesia.
2. Kepercayaan bersifat Animisme
Animisme merupakan kepercayaan
masyarakat pada suatu benda yang memilki ruh atau jiwa.Awal munculnya di dasari
oleh pengalaman dari masyarakat.Misal,pada daerah terdapat batu
besar.Masyarakat yang lewat disamping batu mendengar orang minta
tolong,memanggil-manggil,dll. Peristiwa it uterus berkembang dan masyarakat
percaya bahwa batu besar itu punya jiwa atau ruh. Disamping itu,muncul
kepercayaan terhadap benda pusaka yang dipandang punya jiwa atau ruh,sehingga
benda tsb dianggap dapat memberi petunjuktentang berbagai hal. Kepercayaan ini
masih berkembang hingga sekarang.Bahkan tidak hanya masyarakat desa melainkan
masyarakat kota.Selain itu benda-benda yang dipercaya punya roh yaitu,bangunan
gedung tua,candi,pohon besar,dzb
3. Kepercayaan bersifat Dinamisme
Kepercayaan ini memilki perkembangan
yang tidak jauh berbeda dari Animisme. Dinamisme merupakan kepercayaan bahwa
tiap benda punya kekuatan gaib.Sejak berkembang kepercayaan terhadap nenek
moyang pada masa bercocok tanam,maka kepercayaan bersifat dinamisme.Kepercayaan
ini didasari pengalaman dari masyarakat bersangkutan. Pengalaman berkembang
turun-temurun dari generasi ke generasio hingga sekarang.Contoh,Batu cincin di
nilai memiliki kekuatan untuk melemahkan lawan.Sehingga bila batu itu
dipakai,lawannya tidak sanggup mengahadapinya.
Selain itu benda pusaka seperti
keris atau tombak dipandang memiliki kekuatan gaib untuk memohon turunnya
hujan.Bila keris itu ditancapkan dgn ujung menghadap atas akan mendapat
hujan.Kepercayaan ini mengalami perkembangan dan bahkan hingga sekarang tetap
dipercaya oleh masyarakat.
4. Kepercayaan bersifat Monomisme
Kepercayaan ini adalah kepercayaan terhadap
Tuhan YME. Kepercayaan ini muncul berdasar pengalaman dari masyarakat.Melalui
pengalaman itu pola piker manusia berkembang.Manusia jadi berpikir apa yang
terjadi pada dirinya,kemudian mempertanyakan tentang siapa yang menghidupkan
dan mematikan manusia?siapakah yang menciptakan binatang,bulan dan
planet.Pertanyaan inio terus muncul dipikiran manusia,sehingga disimpulkan di
luar dirinya ada suatu kekuatan yang maha besar dan tak tertandingi oleh
kekuatan manusia.Kekuatan ini berasal dari Tuhan YME
No comments:
Post a Comment