Pengertian
Asuransi Islam
Asuransi adalah sesuatu
yang baru dalam
kajian keislaman (baca
: fiqh). Artinya pembahasan masalah
ini belum dikenal dan dijumpai pada fiqih klasik karena masalah asuransi baru
muncul pada abad ke-13 dan ke-14 di Italia. Sebagai suatu permasalahan yang sifatnya
kontemporer, tidak salah kiranya tidak ada kesamaan terminologi (arab
dan fiqh) yang dipergunakan oleh para ulama kontemporer dalam asuransi ini.
Setidaknya penulis menemukan 3 istilah yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu al-ta ’min, al-takaful dan al-tadhamun,
namun istilah al-tadhamun dan al-takaful lebih sering dipergunakan oleh para ulama dalam
tulisan-tulisan mereka maupun istilah yang dipergunakan dalam forum-forum
diskusi fiqh internasional. Al-ta’min terambil dari
kata ammana yang memiliki
arti memberikan
perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan
bebas dari rasa takut. Dalam salah satu kamus kebahasaan, kata ini diartikan
sebagai: “seseorang membayar atau
menyerahkan uang cicila n untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah
uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap
hartanya yang hilang, dikatakan seseorang
mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya , rumahnya atau
mobilnya .”
Pengertian yang diajukan kamus bahasa Arab tersebut
tidaklah jauh berbeda dengan pengertian
asuransi secara umum yang penulis kutip dari literatur-literatur ekonomi
di atas. Namun secara terminologis, para ulama berbeda pendapat melihat
asuransi ini ditambah dengan keterbatasan mereka dalam melihat asuransi secara
utuh sehingga mengakibatkan mereka berbeda pandangan tentang kesahihan asuransi
diaplikasikan dalam dunia Islam.
Al-Fanjari ketika mengartikan 3
terminologi Arab tersebut diatas mengatakan bahwa arti inti asuransi adalah
usaha untuk saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Untuk itu ia membagi
usaha saling menanggung tersebut kedalam
3 jenis,
yaitu al-ta ’min al-ta ’awuni, al-ta ’minal-tija ri dan al-ta’minal-hukmi.
Syeikh Mustha fa
a l-Zarqa berpendapat bahwa
asuransi pada dasarnya merupakan cara untuk memprotek
manusia dalam menghindari risiko yang akan dihadapinya.
Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa asuransi
pada hakikatnya merupakan kesepakatan kerjasama (ta’awun) antara berbagai pihak dalam mengantisipasi suatu peristiwa,
apabila peristiwa tersebut terjadi maka mereka semua akan saling bekerjasama
untuk menanggungnya dengan sedikit
pemberian derma (premi) yang diberikan
oleh para peserta
sebelumnya. Prinsip asuransi
seperti ini menurutnya
sangatlah baik dan terpuji karena
meringankan beban saudara yang tertimpa
oleh suatu masalah dan peristiwa.
Begitu juga
Dewan Syari’ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia
dalam fatwanya nomor 21/DSN-MUI/ X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syari’ah mengatakan bahwa asuransi (syari’ah) sebagai usaha saling melindungi
dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad yang
sesuai dengan syariah.
Penulis
melihat dari defenisi yang dikemukakan
oleh ketiga ulama di atas pada intinya mengemukakan bahwa asuransi sebagai suatu sistem yang
bertujuan untuk saling
membantu dalam menghadapi peristiwa yang akan terjadi, dan apabila peristiwa
tersebut terjadi maka mereka
bersama akan saling
memikulnya dengan menggunakan
dana yang sebelumnya telah dibayarkan oleh salah satu pihak (peserta).
Defenisi yang diberikan
oleh fatwa Dewan
Syari’ah Nasional Majelis
Ulama Indonesia lebih lanjut menekankan bahwa kontribusi peserta
terhadap lembaga yang mengelola sistem asuransi ini dapat berwujud investasi dan atau ta ba r ru’ sebagai sumber yang
nantinya akan diberikan kepada anggota yang ditimpa oleh peristiwa yang
sama-sama dipertanggungkan. Defenisi yang diberikan oleh Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia ini lebih tajam dan bersifat teknis sehingga lebih tepat
menggambarkan esensi dari asuransi syari’ah tersebut.
Penulis
menilai tujuan asuransi ini sangatlah mulia karena keinginan untuk saling
menolong kedalam kebaikan. Namun persoalan yang dipertikaikan lebih lanjut oleh
para ulama adalah bagaimana instrumen yang akan mewujudkan niat baik dari
asuransi tersebut, baik itu bentuk akad yang melandasinya, sistem pengelolaan
dana, bentuk manajemen dan lain sebagainya.
Dari
permasalahan instrumen pendukung inilah para ulama terpola kepada 2 kelompok
besar. Pertama kelompok yang
mengharamkan asuransi syari’ah karena
beberapa hal. Diantaranya
Ibn Abidin dari
kalangan mazhab Hanafiah
yang berpendapat bahwa asuransi
haram karena uang
setoran peserta (premi)
tersebut adalah iltizaammaalamyalzam (mewajibkan sesuatu yang
tidak lazim/wajib). Muhammad Bakhit al-Muthi’i (bekas mufti Mesir) mengatakan bahwa akad
asuransi yang menjamin
atas harta benda
pada hakikatnya termasuk
dalam ka fa lah atau ta ’a ddi/itla f, namun menurutnya bila
dilihat dari ka fa lah tidaklah
memenuhi syarat ka fa lah, karena a l-ma kfuul bihi (uang atau barang yang
wjib diserahkan) tidak jatuh tempo diakibatkan
pelunasan atau pembebasan atau benda yang dipertanggungkan dirinya. Disamping
itu a l-ma kfuul ‘a nhu (yang
atasnya diserahkan uang/benda tanggungan) wajib menyerahkan
bendanya itu sendiri kepada a l-ma kfuul
la hu. Kalau benda itu musnah maka diganti dengan benda-benda yang
sebanding sesuai dengan
firman Allah swt.: “ Penyeru-penyeru
itu berkata : "Kami kehilangan pialara ja , dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya ". (Yusuf: 72)
Adapun dengan cara ta ’a ddi/itla f tidak juga benar, karena
perusahaan yang menerima jaminan tidaklah
melakukan pengrusakan atas
harta peserta asuransi, namun lebih disebabkan oleh
musibah dan malapetaka.
Selanjutnya
Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa asuransi haram karena mengandung riba. Beliau
melihat riba tersebut misalnya
dalam pengelolaan dana asuransi
dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis.
Kelompok ulama
kedua membolehkan keberadaan
asuransi antara lain dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Isa (guru besar Universitas al-Azhar
Kairo), Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo),
Syeikh Abdul Khalaf, Prof Dr.
Muhammad al-Bahi. Pada
dasarnya mereka mengakui
bahwa asuransi merupakan suatu
bentuk muamalat yang baru dalam Islam
dan memiliki manfaat dan nilai positif bagi umat selama dilandasi oleh praktek-praktek
yang sesuai
dengan nilai dalam
menjalankannya.17
Dalam Islam asuransi haruslah bertujuan pada konsep
tolong menolong dalam kebaikan dan
ketaqwaan menjadikan semua aspek peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu
sama lain. Dalam menghadapi rezki, Allah memerintahkan untuk saling tolong
menolong yang berbentuk al-birru‘al
al-ta qwa> dan
melarang dalam bentuk a l-itsmu ala al-udwa >n sebagaimana
firmannya:: “ Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang
batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dap t memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa , padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
Konsep dasar inilah yang mendasari asuransi Islam
serta yang menjadikannya berbeda dengan jenis asuransi konvesional. Berikut ini
penjelasan tentang hal yang menjadi perhatian dalam praktek asuransi Islam: (memperdaya dengan cara yang batil).
Yang dimaksud dengan
gharar adalah apa
yang akibatnya tidak
jelas, apakah yang dikuatirkan
sebelumnya akan terjadi
atau tidak.19 Apabila telah
lengkap rukun dari akad namun terdapat gharar dalam akad tersebut, maka ulama
berpendapat bahwa akad jual beli atau akad
pertukaran harta benda atau jasa
dalam hal ini adalah cacat secara hukum. Wahbah al-Zuhaili> mengartikan gharar sebagai al-kh tar dan al-taghri>r yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu yang tampaknya
menyenangkan tapi pada hakikatnya menimbulkan
kebencian. Oleh sebab itu dikatakanlah: “ Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga -bangga tentang
banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tana man itu menjadi
kering dan kamulihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur . Dan di akhirat
(nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaanNya . Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang
menipu.”
(Al-Hadi>d: 20)
Muhammad Anwar
Ibrahim mengatakan bahwa para ahli fiqih
hampir sepakat tentang defenisi gharar, yaitu untung-untungan yang sama kuat antara ada atau tidak ada
atau sesuatu yang
mungkin terwujud dan
tidak mungkin terwujud, seperti jual beli ikan yang masih
berkeliaran di dalam laut dan sebagainya.
Rasulullah saw. mengungkapkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang dilarangnya
transaksi yang bersifat gharar: “Dari
Abi Hurairah berkata , Rasulullah saw. melarang jual beli hasah dan jual beli
gharar” (H.R. Muslim dan Turmidzi)
Dalam
asuransi konvensional, akadnya
adalah akad tabadduli atau
akad pertukaran, yaitu pembayaran
premi dengan uang
pertanggungan. Terjadinya gharar
karena tidak ada penjelasan ma’qu>
d‘alaih yaitu yang meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh
(ya atau tidaknya, kecil atau besar) tidak diketahui berapa yang akan
dibayarkan, tidak diketahui berapa lama seseorang harus membayar (karena
hanya Allah swt. yang tahu kapan seseorang akan meninggal) sehingga karena
tidak lengkapnya rukun dari akad maka terjadilah gharar. Oleh karena itu pada ulama berpendapat akad jual beli atau
akad pertukaran harta dalam hal ini cacat hukum.
Asuransi syariah mengganti akad tadi dengan niat tabarru’, yaitu suatu niat tolong menolong pada sesama peserta
asuransi apabila ada yang ditaqdirkan mendapat
musibah, dan akad yang
melandasinya bisa berwujud akad hibbah (memberikan sesuatu kepada orang
lain tampa mengharapkan imbalan apapun). Pertolongan tersebut tentunya tidak
tertutup kemungkinan untuk seseorang atau keluarganya apabila Allah swt.
mentakdirkannya lebih dahulu mendapat musibah. Mekanisme ini
oleh para ulama
dianggap paling baik,
karena menghindari larangan Allah
swt. dalam mempraktekkan muamalat yang
gharar seperti yang tercantum dalam hadis yang melarang gharar tersebut di
atas.
Konsekuensi dari akad tabadduli dalam asuransi konvensional adalah dana peserta menjadi
milik perusahaan. Sedangkan dalam asuransi syariah dana yang terkumpul adalah
milik peserta dan
perusahaan tidak boleh
mengklaimnya sebagai miliknya.
Pengertian Asuransi
Asuransi merupakan suatu istilah bahasa Indonesia di bidang perekonomian.
Selain istilah asuransi ini juga digunakan istilah pertanggungan. Pemakaian kedua istilah
ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda yaitu Assurantie (asuransi) dan verzekering
(pertanggungan). Dalam bahasa Inggris digunakan istilah insurance dan assurance yang memiliki pengertian yang sama. Istilah insurance digunakan untuk asuransi
kerugian, sedangkan istilah assurance digunakan
untuk asuransi jiwa.
Secara defenitif istilah asuransi dapat diartikan dari berbagai sudut
pandang. Bahkan menurut Herman
Darmadi pengertian asuransi ini dapat dilihat dari 5 aspek yang sangat terkait
dengan asuransi, yaitu aspek ekonomi, hukum, sosial, bisnis dan aspek
matematika.
Dalam literatur-literatur ekonomi
terdapat banyak pengertian
asuransi ini, antara lain Robert L Mehr
mendefenisikan asuransi sebagai: "a device for reducing risk by combining a sufficient number of exposure
units to make their individual losses collectively predictable. The predicta
bleloss is then shared by
or distributed proportionately among
all units in the combination" (suatu alat untuk mengurangi risiko dengan
menggabungkan sejumlah unit-unit berisiko agar kerugian individu secara
kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian
dibagi dan didistribusikan secara proporsional diantara semua unit-unit dalam
gabungan tersebut.)
Dalam literatur lain, A. Hasymi Ali mengungkapkan asuransi sebagai: "Suatu alat sosial untuk mengurangi risiko dengan mengga bungka
nunit-unit yang cukup jumlahnya untuk membua t keinginan-keingina n individua l
untuk secara bersama dapat diramalkan.
Keinginan yang dapat diramalkan itu kemudian dibagi rata diantara semua mereka yang bergabung. Defenisi ini mengandung arti
bahwa ketidakpastia n dikurangi juga keingina n dibagirata . Inilah intisa ri
terpenting dari asuransi.
Dari dua defenisi ini penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian
asuransi secara umum adalah sebagai suatu instrumen yang diciptakan bertujuan
untuk saling membagi risiko dan kerugian yang bisa diprediksi diantara
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Secara legal formal, asuransi menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 2
tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 73 tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 tahun
1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian,
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 481/KMK.017/1992 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi,
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 303/KMK.017/2000 tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor
481/KMK.017/1992 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi, dan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
kep.4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian pasal 1 menjelaskan defenisi asuransi, yaitu: "asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian anta ra dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pemegang polis
tertanggung, dengan menerima
premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung
jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin
akan diderita tertanggung
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk pembayaran yang didasrkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan"
Dari pengertian yang diberikan oleh undang-undang tersebut penulis
melihat beberapa unsur yang terlibat dalam asuransi, yaitu pihak penanggung,
pihak tertanggung, premi, polis, kerugian dan risiko yang timbul.
Berdasarkan
undang-undang, perusahaan pengelola yang terlibat dalam usaha
perasuransian dapat digolongkan kedalam dua bagian, yaitu asuransi kerugian
dan asuransi jiwa. Menurut undang-undang
No. 2 tahun 1992 pasal 1 ayat 5, asuransi kerugian adalah, "perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan
manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga , yang timbul dari peristiwa
yang tidak pasti."
Adapun ayat
sesudahnya menjelaskan tentang
perusahaan asuransi jiwa sebagai, "perusahaan -perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko yang dikaitkan
dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan."
Selanjutnya objek asuransi menurut Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 pasal 1 ayat 2 adalah
benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta
semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang
nilainya.
Instrumen
yang menjalankan asuransi ini biasanya
adalah perusahaan yang menfokuskan
dirinya dalam mengelola
dan menjalankan asuransi
itu. Menurut Undang-Undang No. 2
tahun 1992 pasal ayat 4 dinyatakan perusahaan perasuransian sebagai: “ Perusahaan perasuransian adalah
perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi
jiwa , perusahaan reasuransi,
perusahaan pialang asuransi,
perusahaan pialang reasuransi, agen asuransi, perusahaan penilai kerugian, dan
perusahaan konsultan lainnya.”
Dari defenisi yang diformulasikan undang-undang ini penulis melihat
banyak sekali pihak (banyak: per usa ha
an) yang terlibat dalam asuransi ini, yaitu perusahaan asuransi kerugian,
perusahaan asuransi jiwa,
perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, agen asuransi, perusahaan
penilai kerugian, dan perusahaan konsultan lainnya.
Uraian lebih lanjut tentang pihak yang terlibat dalam perasuransian
tersebut dijelaskan dalam ayat-ayat pada pasal yang sama. Pasal 1 ayat 5
menjelaskan tentang perusahaan asuransi, yaitu, “Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat,
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga , yang timbul dari peristiwa yang
tidak pasti.”
Ayat 6
menjelaskan tentang maksud
dari perusahaan asuransi jiwa,
yaitu, “Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan
yang memberikan jasa
dalam pena nggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya
seseorang yang ta nggungkan.”
1. Prinsip Dasar Asuransi
·
terjadinya
kerugian harus mengandung
unsur ketidakpastian atau ketidaksengajaan
·
Kerugian harus dapat dibatasi
·
Kerugian harus signifikan dan berarti
·
Risiko kerugian harus dapat diprediksi
·
Kerugian tidak dapat bersifat ka ta stropis (bencana) kepada penanggung
2. Prinsip Dasar
Perjanjian
Insurable Interest
Adanya kepentingan
yang dapat diasuransikan. Artinya
jika ada suatu kejadian
dapat menimbulkan kepada
seseorang, maka berarti
orang tersebut memenuhi kepentingan terhadap kerugian.
Utmost Good Fa ith
Adanya iktikad
baik atas dasar percaya-mempercayai antara pihak penanggung dengan pihak
tertanggung dalam melaksanakan kontrak penutupan pertanggungan
Indemnity
Adanya
perjanjian kerugian, dimana ganti rugi yang diberikan tidak boleh melebihi
kerugian yang sebenarnya.
Adanya prinsip agar seseorang tidak memperoleh
keuntungan dari terjadinya
kerugian, jika pihak yang
menyebabkan terjadinya kerugian memberikan ganti rugi.
No comments:
Post a Comment