Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Business

Tuesday, 8 May 2018

Asuransi Menurut Islam

  kangato       Tuesday, 8 May 2018

Pengertian Asuransi Islam
Asuransi  adalah  sesuatu  yang  baru  dalam  kajian  keislaman  (baca :  fiqh). Artinya pembahasan masalah ini belum dikenal dan dijumpai pada fiqih klasik karena masalah asuransi baru muncul pada abad ke-13 dan ke-14 di Italia. Sebagai suatu permasalahan  yang sifatnya  kontemporer,  tidak salah  kiranya tidak ada kesamaan terminologi (arab dan fiqh) yang dipergunakan oleh para ulama kontemporer dalam asuransi ini. Setidaknya penulis menemukan 3 istilah yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu al-ta min, al-takaful dan al-tadhamun, namun istilah al-tadhamun dan al-takaful lebih sering dipergunakan oleh para ulama dalam tulisan-tulisan mereka maupun istilah yang dipergunakan dalam forum-forum diskusi fiqh internasional. Al-tamin   terambil   dari   kata  ammana  yang  memiliki   arti  memberikan perlindungan,  ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Dalam salah satu kamus kebahasaan, kata ini diartikan sebagai: seseorang membayar atau menyerahkan uang cicila n untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya  yang hilang, dikatakan seseorang mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya , rumahnya atau mobilnya .”
Pengertian yang diajukan kamus bahasa Arab tersebut tidaklah jauh berbeda dengan pengertian  asuransi secara umum yang penulis kutip dari literatur-literatur ekonomi di atas. Namun secara terminologis, para ulama berbeda pendapat melihat asuransi ini ditambah dengan keterbatasan mereka dalam melihat asuransi secara utuh sehingga mengakibatkan mereka berbeda pandangan tentang kesahihan asuransi diaplikasikan dalam dunia Islam.

Al-Fanjari ketika mengartikan 3 terminologi Arab tersebut diatas mengatakan bahwa arti inti asuransi adalah usaha untuk saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Untuk itu ia membagi usaha saling menanggung  tersebut kedalam 3 jenis,
yaitu al-ta min al-ta awuni, al-ta minal-tija ri dan al-taminal-hukmi.

Syeikh   Mustha fa   a l-Zarqa  berpendapat   bahwa  asuransi  pada  dasarnya merupakan cara untuk memprotek manusia dalam menghindari risiko yang akan dihadapinya.
Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa asuransi pada hakikatnya merupakan kesepakatan kerjasama (taawun) antara berbagai pihak dalam mengantisipasi suatu peristiwa, apabila peristiwa tersebut terjadi maka mereka semua akan saling bekerjasama untuk menanggungnya  dengan sedikit pemberian derma (premi) yang diberikan  oleh  para  peserta  sebelumnya.  Prinsip  asuransi  seperti  ini menurutnya sangatlah  baik dan terpuji karena meringankan  beban saudara yang tertimpa oleh suatu masalah dan peristiwa.
Begitu  juga  Dewan  Syari’ah  Nasional  Majelis  Ulama  Indonesia  dalam fatwanya nomor 21/DSN-MUI/ X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah mengatakan bahwa asuransi (syari’ah) sebagai usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarruyang  memberikan  pola  pengembalian  untuk  menghadapi  risiko  tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Penulis melihat dari defenisi yang dikemukakan  oleh ketiga ulama di atas pada intinya mengemukakan  bahwa asuransi sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk saling membantu dalam menghadapi peristiwa yang akan terjadi, dan apabila peristiwa  tersebut  terjadi  maka mereka  bersama  akan  saling  memikulnya  dengan menggunakan dana yang sebelumnya telah dibayarkan oleh salah satu pihak (peserta). Defenisi  yang  diberikan   oleh  fatwa  Dewan  Syari’ah  Nasional  Majelis  Ulama Indonesia lebih lanjut menekankan bahwa kontribusi peserta terhadap lembaga yang mengelola sistem asuransi ini dapat berwujud  investasi dan atau ta ba r rusebagai sumber yang nantinya akan diberikan kepada anggota yang ditimpa oleh peristiwa yang sama-sama  dipertanggungkan.  Defenisi yang diberikan  oleh Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia ini lebih tajam dan bersifat teknis sehingga lebih tepat menggambarkan esensi dari asuransi syari’ah tersebut.
Penulis menilai tujuan asuransi ini sangatlah mulia karena keinginan untuk saling menolong kedalam kebaikan. Namun persoalan yang dipertikaikan lebih lanjut oleh para ulama adalah bagaimana instrumen yang akan mewujudkan niat baik dari asuransi tersebut, baik itu bentuk akad yang melandasinya, sistem pengelolaan dana, bentuk manajemen dan lain sebagainya.
Dari permasalahan instrumen pendukung inilah para ulama terpola kepada 2 kelompok besar. Pertama kelompok yang mengharamkan  asuransi syari’ah karena beberapa   hal.  Diantaranya   Ibn   Abidin   dari   kalangan   mazhab   Hanafiah   yang berpendapat  bahwa  asuransi  haram  karena  uang  setoran  peserta  (premi)  tersebut adalah  iltizaammaalamyalzam   (mewajibkan  sesuatu  yang  tidak  lazim/wajib). Muhammad Bakhit al-Muthi’i (bekas mufti Mesir) mengatakan bahwa akad asuransi yang  menjamin  atas  harta  benda  pada  hakikatnya  termasuk  dalam  ka fa lah atau ta a ddi/itla f, namun menurutnya bila dilihat dari ka fa lah tidaklah memenuhi syarat ka fa lah, karena a l-ma kfuul bihi (uang atau barang yang wjib diserahkan) tidak jatuh tempo diakibatkan  pelunasan atau pembebasan atau benda yang dipertanggungkan dirinya.  Disamping  itu  a l-ma kfuul  a nhu  (yang  atasnya  diserahkan  uang/benda tanggungan) wajib menyerahkan bendanya itu sendiri kepada a l-ma kfuul la hu. Kalau benda itu musnah maka diganti dengan benda-benda yang sebanding sesuai dengan
firman Allah swt.: Penyeru-penyeru itu berkata : "Kami kehilangan pialara ja , dan siapa yang dapat  mengembalikannya  akan  memperoleh  bahan  makanan  (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya ". (Yusuf: 72)
Adapun dengan cara ta a ddi/itla f  tidak juga benar, karena perusahaan yang menerima  jaminan  tidaklah  melakukan  pengrusakan  atas  harta  peserta  asuransi, namun lebih disebabkan oleh musibah  dan malapetaka.
Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa asuransi haram karena mengandung  riba. Beliau  melihat  riba tersebut  misalnya  dalam pengelolaan  dana asuransi dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis.
Kelompok   ulama  kedua  membolehkan   keberadaan   asuransi  antara  lain dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Isa (guru besar Universitas al-Azhar Kairo), Prof. Dr. Muhammad  Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo), Syeikh Abdul Khalaf,  Prof  Dr.  Muhammad  al-Bahi.  Pada  dasarnya  mereka  mengakui  bahwa asuransi merupakan  suatu bentuk muamalat  yang baru dalam Islam dan memiliki manfaat dan nilai positif bagi umat selama dilandasi oleh praktek-praktek yang sesuai
dengan nilai dalam menjalankannya.17
Dalam Islam asuransi haruslah bertujuan pada konsep tolong menolong dalam kebaikan  dan ketaqwaan  menjadikan  semua aspek peserta sebagai  keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain. Dalam menghadapi rezki, Allah memerintahkan untuk saling tolong menolong yang berbentuk al-birrual al-ta qwa> dan melarang  dalam bentuk a l-itsmu ala al-udwa >n sebagaimana firmannya:: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu  dengan  jalan  yang  batil  dan  (janganlah) kamu  membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dap t memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa , padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
Konsep dasar inilah yang mendasari asuransi Islam serta yang menjadikannya berbeda dengan jenis asuransi konvesional. Berikut ini penjelasan tentang hal yang menjadi perhatian dalam praktek asuransi Islam:  (memperdaya dengan cara yang batil).  Yang  dimaksud  dengan  gharar  adalah  apa  yang  akibatnya  tidak  jelas, apakah  yang  dikuatirkan  sebelumnya  akan  terjadi  atau  tidak.19   Apabila  telah lengkap rukun dari akad namun terdapat gharar dalam akad tersebut, maka ulama berpendapat  bahwa akad  jual beli atau  akad  pertukaran  harta benda atau jasa dalam hal ini adalah cacat secara hukum. Wahbah al-Zuhaili> mengartikan gharar sebagai al-kh tar dan al-taghri>r yang artinya penampilan  yang menimbulkan  kerusakan atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan  tapi pada hakikatnya  menimbulkan  kebencian. Oleh sebab itu dikatakanlah: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya  kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang  melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah  antara kamu serta berbangga -bangga tentang banyaknya  harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan  para petani; kemudian  tana man itu menjadi kering dan kamulihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur . Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah  serta keridhaanNya . Dan kehidupan  dunia  ini tidak  lain hanyalah  kesenangan yang menipu.” (Al-Hadi>d: 20)
Muhammad  Anwar Ibrahim mengatakan  bahwa para ahli fiqih hampir sepakat tentang defenisi gharar, yaitu untung-untungan  yang sama kuat antara ada atau tidak  ada  atau  sesuatu  yang  mungkin  terwujud  dan  tidak  mungkin  terwujud, seperti jual beli ikan yang masih berkeliaran di dalam laut dan sebagainya.
Rasulullah saw. mengungkapkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang dilarangnya transaksi yang bersifat gharar: Dari Abi Hurairah berkata , Rasulullah saw. melarang jual beli hasah dan jual beli gharar” (H.R. Muslim dan Turmidzi)
Dalam   asuransi   konvensional,   akadnya   adalah   akad   tabadduli  atau   akad pertukaran,  yaitu  pembayaran  premi  dengan  uang  pertanggungan.  Terjadinya gharar karena tidak ada penjelasan maqu> dalaih yaitu yang meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ya atau tidaknya, kecil atau besar) tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan,  tidak diketahui  berapa lama seseorang harus membayar (karena hanya Allah swt. yang tahu kapan seseorang akan meninggal) sehingga karena tidak lengkapnya rukun dari akad maka terjadilah gharar. Oleh karena itu pada ulama berpendapat akad jual beli atau akad pertukaran harta dalam hal ini cacat hukum.
Asuransi syariah mengganti akad tadi dengan niat tabarru, yaitu suatu niat tolong menolong pada sesama peserta asuransi apabila ada yang ditaqdirkan mendapat  musibah,  dan akad  yang  melandasinya  bisa berwujud  akad  hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain tampa mengharapkan imbalan apapun). Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk seseorang atau keluarganya apabila Allah swt. mentakdirkannya lebih dahulu mendapat musibah. Mekanisme  ini  oleh  para  ulama  dianggap  paling  baik,  karena  menghindari larangan Allah swt. dalam mempraktekkan  muamalat yang gharar seperti yang tercantum dalam hadis yang melarang gharar tersebut di atas.
Konsekuensi dari akad tabadduli dalam asuransi konvensional adalah dana peserta menjadi milik perusahaan. Sedangkan dalam asuransi syariah dana yang terkumpul  adalah  milik  peserta  dan  perusahaan  tidak  boleh  mengklaimnya sebagai miliknya.

Pengertian Asuransi 

Asuransi merupakan suatu istilah bahasa Indonesia di bidang perekonomian. Selain istilah asuransi ini juga digunakan istilah pertanggungan.  Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda yaitu Assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). Dalam bahasa Inggris digunakan istilah insurance dan assurance yang memiliki pengertian yang sama. Istilah insurance digunakan untuk asuransi kerugian, sedangkan istilah assurance digunakan untuk asuransi jiwa.
Secara defenitif istilah asuransi dapat diartikan dari berbagai sudut pandang. Bahkan menurut  Herman Darmadi pengertian asuransi ini dapat dilihat dari 5 aspek yang sangat terkait dengan asuransi, yaitu aspek ekonomi, hukum, sosial, bisnis dan aspek matematika.
Dalam  literatur-literatur  ekonomi  terdapat  banyak  pengertian  asuransi  ini, antara lain Robert L Mehr mendefenisikan asuransi sebagai: "a device for reducing risk by combining a sufficient number of exposure units to make their individual losses collectively predictable. The predicta bleloss is then  shared  by  or  distributed  proportionately  among  all  units  in  the combination"  (suatu alat untuk mengurangi risiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit berisiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara proporsional diantara semua unit-unit dalam gabungan tersebut.)
Dalam literatur lain, A. Hasymi Ali mengungkapkan asuransi sebagai: "Suatu alat sosial untuk mengurangi risiko dengan mengga bungka nunit-unit yang cukup jumlahnya untuk membua t keinginan-keingina n individua l untuk secara bersama  dapat diramalkan. Keinginan yang dapat diramalkan itu kemudian dibagi rata diantara  semua mereka yang bergabung. Defenisi ini mengandung arti bahwa ketidakpastia n dikurangi juga keingina n dibagirata . Inilah intisa ri terpenting dari asuransi.
Dari dua defenisi ini penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian asuransi secara umum adalah sebagai suatu instrumen yang diciptakan bertujuan untuk saling membagi risiko dan kerugian yang bisa diprediksi diantara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Secara legal formal, asuransi menurut perundang-undangan  yang berlaku di Indonesia  diatur  dalam  Undang-Undang  Republik  Indonesia  No.  2  tahun  1992 tentang Usaha Perasuransian, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan  Usaha Perasuransian, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 481/KMK.017/1992 tentang Kesehatan Keuangan  Perusahaan  Asuransi  dan  Perusahaan  Reasuransi,  Keputusan  Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 303/KMK.017/2000  tentang Perubahan Atas Keputusan   Menteri  Keuangan  Republik  Indonesia  Nomor  481/KMK.017/1992 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor kep.4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian pasal 1 menjelaskan defenisi asuransi, yaitu: "asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian anta ra dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pemegang polis tertanggung,    dengan    menerima    premi    asuransi   untuk    memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau  tanggung  jawab hukum  kepada pihak ketiga  yang  mungkin  akan  diderita  tertanggung  yang  timbul  dari suatu peristiwa  yang tidak pasti atau untuk  pembayaran yang didasrkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan"
Dari pengertian yang diberikan oleh undang-undang tersebut penulis melihat beberapa unsur yang terlibat dalam asuransi, yaitu pihak penanggung, pihak tertanggung, premi, polis, kerugian dan risiko yang timbul.
Berdasarkan undang-undang, perusahaan pengelola yang terlibat dalam usaha perasuransian  dapat digolongkan  kedalam dua bagian, yaitu asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Menurut undang-undang  No. 2 tahun 1992 pasal 1 ayat 5, asuransi kerugian adalah, "perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga , yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti."
Adapun  ayat  sesudahnya  menjelaskan  tentang  perusahaan  asuransi  jiwa sebagai, "perusahaan -perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko    yang   dikaitkan   dengan   hidup   atau   meninggalnya   seseorang   yang dipertanggungkan."
Selanjutnya  objek asuransi menurut Undang-Undang  nomor 2 tahun 1992 pasal 1 ayat 2 adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
Instrumen yang menjalankan  asuransi ini biasanya adalah perusahaan yang menfokuskan  dirinya  dalam  mengelola  dan  menjalankan  asuransi  itu.  Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1992 pasal ayat 4 dinyatakan perusahaan perasuransian sebagai: Perusahaan   perasuransian   adalah    perusahaan   asuransi   kerugian, perusahaan  asuransi  jiwa ,  perusahaan  reasuransi,  perusahaan  pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, agen asuransi, perusahaan penilai kerugian, dan perusahaan konsultan lainnya.

Dari defenisi yang diformulasikan undang-undang ini penulis melihat banyak sekali pihak (banyak: per usa ha an) yang terlibat dalam asuransi ini, yaitu perusahaan asuransi  kerugian,  perusahaan  asuransi  jiwa,  perusahaan  reasuransi,  perusahaan pialang asuransi, perusahaan  pialang reasuransi, agen asuransi, perusahaan penilai kerugian, dan perusahaan konsultan lainnya.
Uraian lebih lanjut tentang pihak yang terlibat dalam perasuransian tersebut dijelaskan dalam ayat-ayat pada pasal yang sama. Pasal 1 ayat 5 menjelaskan tentang perusahaan asuransi, yaitu, “Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga , yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Ayat  6  menjelaskan  tentang  maksud  dari perusahaan  asuransi  jiwa,  yaitu, “Perusahaan  asuransi  jiwa  adalah  perusahaan  yang  memberikan  jasa  dalam pena nggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang ta nggungkan.

1. Prinsip Dasar Asuransi

·         terjadinya   kerugian   harus   mengandung   unsur   ketidakpastian   atau ketidaksengajaan
·         Kerugian harus dapat dibatasi
·         Kerugian harus signifikan dan berarti
·         Risiko kerugian harus dapat diprediksi
·         Kerugian tidak dapat bersifat ka ta stropis (bencana) kepada penanggung

2. Prinsip Dasar Perjanjian
Insurable Interest
Adanya  kepentingan  yang  dapat  diasuransikan.  Artinya  jika ada suatu kejadian  dapat  menimbulkan   kepada  seseorang,  maka  berarti  orang tersebut memenuhi kepentingan terhadap kerugian.
Utmost Good Fa ith
Adanya iktikad baik atas dasar percaya-mempercayai antara pihak penanggung dengan pihak tertanggung dalam melaksanakan kontrak penutupan pertanggungan
Indemnity
Adanya perjanjian kerugian, dimana ganti rugi yang diberikan tidak boleh melebihi kerugian yang sebenarnya.
Adanya prinsip agar seseorang tidak memperoleh keuntungan dari terjadinya  kerugian,  jika pihak yang menyebabkan  terjadinya  kerugian memberikan ganti rugi.

logoblog

Thanks for reading Asuransi Menurut Islam

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment

Contoh Soal PLH Kelas VIII

SOAL PLH KELAS VIII PENGHIJAUAN LINGKUNGAN Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar, dengan memberikan tanda silang (X) pad...

close